Perannya Dalam Instinbath Hukum Syara’
Qarinah (القرينة) dalam bahasa Arab berasal dari kata qarana, yang artinya jama’a (menggabungkan atau mengumpulkan) atau shaahaba
(membarengi atau membersamai). Jadi qarinah menurut pengertian bahasa
Arab artinya adalah sesuatu yang berkumpul atau membarengi sesuatu yang
lain. (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19; Nazar Ma’ruf Muhammad Jan Bantan, Al Qara`in wa Ahammiyatuhaa fi Bayan Al Murad min Al Khithab ‘Inda Al Ushuliyyin wa Al Fuqoha, hlm. 31-32).
Adapun menurut istilah dalam ushul fiqih, qarinah menurut Syaikh ‘Atha bin Khalil adalah setiap apa-apa yang memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna tuntutan itu jika dia digabungkan atau dibarengkan dengan tuntutan tersebut. (kullu maa yubayyin nau’ al thalab wa yuhaddidu ma’nahu idzaa maa jama’a ilaihi wa shaahabahu). (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19).
Qarinah ini tak dapat dilepaskan dari kaidah ushul fiqih (qa’idah ushuliyah) yang berbunyi : al ashlu fi ma’na al amr at thalab (asal dari makna perintah adalah tuntutan). Artinya, jika terdapat perintah (amr) dalam Al Qur`an atau As Sunnah, maka pengertian dasar dari amr itu adalah tuntutan (thalab). Yang menentukan jenis amr itu, apakah berupa amr yang jazm (tegas), atau amr yang ghair jazm (tidak tegas), atau amr yang berupa takhyir (piliihan), adalah qarinah-qarinah yang menyertai amr tersebut. (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 13)
Contohnya, terdapat perintah (amr) dalam firman Allah SWT ( أقيموا الصلاة) )Dirikanlah shalat ( (QS An Nuur : 56). Ini adalah tuntutan (thalab)
kepada muslim untuk sholat. Tuntutan ini ternyata disertai
qarinah-qarinah yang bersifat jazm (tegas), yaitu misalnya adanya
ancaman siksa neraka bagi yang tak sholat. Ini berarti sholat itu
hukumnya wajib. Qarinah itu antara lain firman Allah SWT :
ما سلككم في سقر قالوا لم نك من المصلين
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka
menjawab,”Kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al Muddatstsir [74] : 42-43).
Qarinah yang menentukan jenis tuntutan ini adakalanya terdapat dalam
nash yang lain, yaitu pada nash yang berbeda dengan nash yang mengandung
thalab, seperti contoh di atas. Adakalanya qarinah terdapat pada nash
yang sama dengan nash yang mengandung thalab. Misalkan firman Allah SWT :
ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra` [17] : 32).
Ayat tersebut mengandung tuntutan (thalab), yaitu tuntutan untuk meninggalkan perbuatan zina (wa laa taqrabuz zina). Dan pada nash yang sama, terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan itu adalah tuntutan untuk meninggalkan zina secara jazm (tegas), atau berhukum haram, yaitu firman-Nya yang berbunyi (innahu kaana fahisyatan wa saa`a sabiila).
Qarinah yang terdapat dalam nash yang berbeda dengan nash yang mengandung thalab, disebut juga dengan istilah al qarinah al munfashilah (qarinah yang terpisah). Sedang qarinah yang terdapat dalam nash yang sama dengan nash yang mengandung thalab, disebut al qarinah al muttashilah (qarinah yang bersambung/menyatu). (Muhammad Qasim Al Asthal, Al Qarinah ‘Inda Al Ushuliyyin wa Atsaruha fi Fahm An Nushush, hlm. 75 & 78).
Peran Qarinah
Peran qarinah sangat penting dan mutlak bagi seorang mujtahid yang
hendak mengistinbath suatu hukum syara’. Terdapat paling tidak 3 (tiga)
peran atau urgensi qarinah, yaitu :
Pertama, qarinah berperan untuk memperjelas
jenis tuntutan dan menentukan makna tuntutan yang ada. Inilah peran
paling penting dari qarinah. Dengan demikian, tanpa mencari dan memahami
qarinah, seorang mujtahid dalam upayanya mengistinbath hukum tidak akan
dapat menentukan makna tuntutan yang ada, apakah tuntutan itu hukumnya
wajib atau mandub, haram atau makruh, ataukah mubah.
Dengan kata lain, mujtahid yang mencari dan memahami qarinah akan
termasuk orang yang melakukan tadabbur terhadap Al Qur`an dan orang yang
berusaha memahami makna-makna Al Qur`an. Dengan kata lain, mujtahid
yang mencari dan memahami qarinah akan terhindar dari celaan sebagai
orang yang tidak melakukan tadabbur terhadap Al Qur`an, serta terhindar
dari celaan sebagai orang yang hatinya telah tertutup / terkunci,
sebagaimana firman Allah :
أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (melakukan tadabbur) Al Qur`an ataukah hati mereka terkunci?” (QS Muhammad [47] : 24)
Kedua, pengamalan qarinah dapat menjamin
pengamalan dalil secara komprehensif, bukan secara parsial. Sebab orang
yang tidak mencari qarinah atau yang tidak mengamalkan qarinah, berarti
mengabaikan dalil-dalil lain yang mengandung qarinah, baik dalil dari Al
Qur`an maupun As Sunnah. Dengan demikian qarinah mempunyai peran untuk
menjauhkan seorang mujtahid dari tindakan mengamalkan sebagian ayat Al
Qur`an dan meninggalkan sebagian ayat Al Qur`an lainnya, yang jelas
dikecam oleh Allah SWT dengan firman-Nya :
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتابِ وَتَكْفُرُونَ
بِبَعْضٍ فَما جَزاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي
الْحَياةِ الدُّنْيا وَيَوْمَ الْقِيامَةِ يُرَدُّونَ إِلى أَشَدِّ
الْعَذابِ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar
terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian itu daripadamu, kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Dan
Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al Baqarah [2] : 85)
Ketiga, mengamalkan qarinah dapat menghindarkan diri dari kontradiksi (ta’arudh)
antar dalil yang secara lahiriah dapat nampak. Mujtahid yang mencari
dan memahami qarinah, akan dapat meletakkan dalil-dalil yang secara
lahiriah bertentangan secara proporsional, yaitu tanpa adanya
pertentangan sama sekali. Sebab adanya kontradiksi (ta’arudh) di antara dalil-dalil syar’i adalah sesuatu yang mustahil secara syar’i, sebagaimana firman Allah SWT :
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an? Kalau kiranya
Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan
pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa` [4] : 82). (Lihat Muhammad Qasim Al Asthal, Al Qarinah ‘Inda Al Ushuliyyin wa Atsaruha fi Fahm An Nushush, hlm. 40-41, dengan sedikit perubahan redaksional).
Kewajiban Mencari Qarinah
Menurut Syaikh ‘Atha bin Khalil, seorang mujtahid yang akan
mengistinbath hukum syara’ haruslah menempuh 2 (dua) langkah sebagai
berikut :
Pertama, mencari dalil yang menetapkan adanya thalab dalam suatu nash, baik thalab itu berupa thalabul fi’li (tuntutan untuk mengerjakan perbuatan), ataupun berupa thalabut tarki (tuntutan untuk meninggalkan perbuatan).
Kedua, mencari qarinah yang kalau
digabungkan dengan dalil thalab yang telah diperoleh, akan dapat
menjelaskan jenis tuntutan dan menentukan maknanya. (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19).
Langkah kedua untuk mencari qarinah itu hukumnya adalah wajib secara
syar’i sehingga berdosalah seorang mujtahid kalau meninggalkan langkah
tersebut. Sebab pada dasarnya mengistinbath hukum syara’ adalah wajib
hukumnya demi untuk menyelesaikan berbagai masalah manusia (mu’alajat li masyakil al insan).
Dan kewajiban ini tidaklah mungkin terlaksana tanpa ada langkah mencari
dan memahami qarinah-qarinah. Maka langkah mencari dan memahami qarinah
hukumnya adalah wajib, berdasarkan kaidah maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajib (jika suatu kewajiban tidak sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). (Muhammad Qasim Al Asthal, Al Qarinah ‘Inda Al Ushuliyyin wa Atsaruha fi Fahm An Nushush, hlm. 40).
Macam-Macam Qarinah
Menurut Syaikh ‘Atha bin Khalil, terdapat 3 (tiga) macam qarinah untuk memahami jenis thalab, yaitu :
pertama, qarinah yang menunjukkan jazm (hukum tegas), baik yang menunjukkan hukum haram maupun hukum wajib.
Kedua, qarinah yang menunjukkan ghair jazm (hukum tidak tegas), baik yang menunjukkan hukum mandub (sunnah) maupun hukum makruh.
Ketiga, qarinah yang menunjukkan istiwa` (hukum
mubah), yaitu qarinah yang menunjukkan kesamaan antara tuntutan
mengerjakan dengan tuntutan meninggalkan perbuatan. (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19-28).
Qarinah yang pertama, yakni yang menunjukkan jazm (hukum
tegas), ada banyak macam bentuknya. Antara lain adanya penjelasan
mengenai siksaan atau hukuman di dunia atau di akhirat, atau yang
semakna dengan itu, terhadap suatu perbuatan yang dikerjakan, ataupun
perbuatan yang tidak dikerjakan. Penjelasan mengenai hukuman untuk
perbuatan yang dikerjakan, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri.
Adanya hukuman ini, merupakan qarinah bahwa perbuatan mencuri itu
hukumnya haram. Firman Allah SWT :
وَ السَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُما جَزاءً بِما كَسَبا نَكالاً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) balasan atas apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Maidah [5] : 38).
Qarinah berupa penjelasan mengenai hukuman untuk perbuatan yang tidak
dikerjakan, contohnya siksaan di neraka Saqar bagi orang yang tidak
sholat. Adanya ancaman siksaan ini, merupakan qarinah bahwa mengerjakan
sholat hukumnya wajib (lihat kembali contoh di atas di awal tulisan).
Qarinah yang menunjukkan jazm, juga dapat berupa celaan yang
keras baik terhadap perbuatan yang ditinggalkan, maupun perbuatan yang
dilakukan. Misalnya predikat mati jahiliyah bagi yang tidak mempunyai
baiat kepada khalifah. Adanya predikat mati jahiliyah ini, merupakan
qarinah yang menunjukkan baiat kepada seorang khalifah hukumnya wajib.
Sabda Rasulullah SAW :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam / khalifah) maka matinya mati jahiliyah.” (HR Muslim).
Contoh lainnya adalah predikat fahisyah (keji) dan jalan yang buruk (sa`a sabila)
bagi perbuatan zina. Predikat ini merupakan qarinah yang menunjukkan
bahwa zina itu hukumnya haram. (lihat kembali contoh di atas di awal
tulisan).
Qarinah yang kedua, adalah qarinah yang menunjukkan ghairu jazm
(hukum tidak tegas), yang menunjukkan hukum sunnah atau makruh. Qarinah
ini juga ada banyak ragam bentuknya. Antara lain, adanya nash yang
menunjukkan tarjih, yaitu melakukannya lebih baik daripada tak melakukannya, tetapi kosong dari qarinah-qarinah yang menunjukkan jazm. Misalnya sabda Rasulullah SAW :
تبسمك في وجه أخيك صدقة
“Senyummu di hadapan saudaramu, adalah sedekah.” (HR Tirmidzi).
Hadits ini menunjukkan adanya tarjih, yaitu tersenyum itu
lebih baik daripada tidak tersenyum, karena ada pujian bahwa senyum
kepada sesama muslim itu adalah sedekah. Tapi nash ini tidak disertai
qarinah yang menunjukkan jazm, misalnya yang tidak tersenyum
akan mati jahiliyah, atau dianggap melakukan perbuatan keji, dsb. Maka
tersenyum pada saat berjumpa dengan sesama muslim hukumnya adalah sunnah
(mandub), bukan wajib.
Contoh lainnya dari qarinah yang menunjukkan ghairu jazm (hukum tidak tegas), adalah diamnya Nabi SAW setelah adanya tuntutan untuk tidak berbuat sesuatu (thalabut tarki). Misalnya sabda Nabi SAW :
من كان موسرا ولم ينكح فليس منا
“Barangsiapa sudah mampu menikah tapi dia tidak menikah, maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR Bukhari, Muslim, dll)
Hadits tersebut berisi tuntutan untuk meninggalkan hidup membujang
bagi yang sudah mampu menikah. Sebab Nabi SAW memberi predikat orang
seperti itu sebagai orang yang “bukan golongan kami”. Tapi Nabi SAW
telah membiarkan sebagian shahabatnya tidak menikah, padahal sudah mampu
menikah. Diamnya Nabi SAW ini merupakan qarinah bahwa larangan hidup
membujang bagi yang sudah mampu menikah adalah larangan makruh, bukan
larangan haram.
Qarinah yang ketiga, adalah qarinah yang menunjukkan istiwa`
(hukum mubah). Bentuknya juga beraneka ragam. Di antaranya adanya
perintah setelah larangan, yang dirumuskan dalam kaidah ushuliyah yang
berbunyi Al Amru ba’da an nahyi yufiidul ibaahah (perintah setelah larangan menunjukkan hukum mubah).
Misalnya perintah berburu binatang setelah adanya larangan berburu
bagi yang berihram, yakni setelah jamaah haji melakukan tahallul. Allah
SWT berfirman :
وإذا حللتم فاصطادوا
“Dan apabila kamu sudah menyelesaikan ibadah haji (bertahallul), maka berburulah.” (QS Al Maaidah [5] : 2).
Perintah untuk berburu ini bukanlah berarti perintah wajib, namun
sekedar kebolehan berburu. Karena sebelum selesai beribadah haji haram
hukumnya jamaah haji untuk berburu. Jadi perintah itu bukanlah perintah
wajib, melainkan sekedar perintah untuk menghilangkan keharaman, yaitu
menunjukkan boleh, bukan wajib berburu.
Yang semisal ini adalah perintah untuk bertebaran di muka bumi (intisyar fi al ardhi),
seperti berjual beli (QS Al Jumuah : 10), setelah sebelumnya ada
larangan jual beli pada saat sholat Jumat (QS Al Jumuah : 9). Perintah
itu bukan berarti perintah wajib, melainkan sekedar boleh. Seperti itu
pula adalah perintah untuk menggauli isteri setelah isteri selesai dari
haid (QS Al Baqarah : 222), setelah sebelumnya ada larangan menggauli
isteri pada saat haid (QS Al Baqarah : 222). Perintah untuk menggauli
isteri pasca haid juga bukan perintah wajib atas suami, melainkan
sekedar boleh.
0 komentar:
Post a Comment