THIS TOPIC BOX Ketik Topic Disini Contoh DZIKIR atau MAKAN

Translate

Thursday 10 September 2015

Laki-laki Dayuts di Zaman Modern (AURAT DAN ZINA Para Istri)

Rasulullah mensabdakan, ada tiga orang yang tidak akan dilihat Allah pada hari kiamat. Salah satunya adalah dayuts, yaitu laki-laki yang tidak punya rasa cemburu terhadap istrinya. Perbuatannya disebut diyatsah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ

“Ada tiga orang yang tidak akan dilihat Allah pada hari kiamat: orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang meniru gaya laki-laki, dan dayuts.” (HR. An Nasa’i dan Ahmad)

Menurut Kamus Al Misbah, dayuts adalah laki-laki yang tidak memiliki rasa cemburu terhadap istrinya.

Bagaimana bentuk perbuatan diyatsah atau sikap laki-laki dayyuts di zaman modern? Berikut ini contoh dan tingkatannya:
Membiarkan istrinya tidak menutup aurat

Menutup aurat adalah wajib. Tidak ada satu pun ulama yang mengingkari kewajiban menutup aurat. Sedangkan aurat wanita menurut jumhur ulama adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Persis sama dengan yang wajib ditutup saat shalat.

Termasuk aurat adalah rambut. Maka menutup rambut dengan kerudung, jilbab atau apapun namanya adalah wajib bagi muslimah. Jika ada laki-laki yang membiarkan istriya tidak berjilbab, tidak menutup aurat, maka ia termasuk berbuat diyatsah.

Ada pula laki-laki yang membiarkan istrinya bukan hanya tidak berjilbab, tetapi juga membuka sebagian anggota tubuhnya dengan memakai t-shirt, tank top, rok pendek, hot pan, dan sejenisnya. Yang membuka banyak aurat dan memancing syahwat laki-laki. Laki-laki seperti ini, ia semakin dekat dengan status dayyuts.
Menyuruh istrinya membuka aurat

Membiarkan istri membuka aurat adalah perbuatan diyatsah. Laki-laki yang membiarkan istrinya tidak berjilbab berarti telah berbuat diyatsah. Apalagi jika laki-laki itu malah menyuruh istrinya melepas jilbab, berarti ia semakin dekat dengan dayyuts.

Tingkatan yang lebih parah, jika laki-laki menyuruh istrinya memakai pakaian yang memperlihatkan lebih banyak auratnya hingga semakin memancing syahwat laki-laki lain.
Membiarkan istrinya pamer aurat di internet & media sosial

Jika membiarkan istri membuka aurat di sekitar rumah, maka yang melihat adalah tetangga dan orang-orang terbatas di sekitarnya. Tetapi begitu seorang wanita membuka auratnya dan dipamerkan di internet atau media sosial, maka seluruh dunia bisa menikmatinya. Maka laki-laki yang membiarkan istrinya berbuat demikian, maka dia termasuk laki-laki dayyuts. Tidakkah ia cemburu dengan istrinya yang auratnya dipelototi jutaan orang?
Membiarkan istrinya ikhtilath

Termasuk bentuk sikap laki-laki dayyuts di zaman modern adalah membiarkan istrinya melakukan ikhtilath dan tidak timbul kecemburuan sama sekali di hatinya, tidak pula ia mencoba melarang dan menasehatinya.

Umumnya, ini terjadi pada wanita yang telah membuka aurat kemudian bergabung dengan komunitas-komunitas antar-jenis baik karena ikatan hobi atau pertemanan. Cirinya, pada komunitas itu hubungan laki-laki dan perempuan tidak dijaga dengan baik sehingga memungkinkan saling pandang, saling mencandai, hingga bersentuhan fisik dan cipika cipiki.
Mengeksploitasi istrinya

Ada pula yang karena motif ekonomi, laki-laki mengeksploitasi istrinya melakukan pekerjaan yang membuatnya membuka aurat, melakukan ikhtilath dan memancing syahwat. Misalnya menyuruh istrinya menjadi penyanyi dan penari. Sehingga istrinya menghibur laki-laki lain, bergoyang di depan umum, dan sejenisnya.
Membiarkan istrinya (mendekati) zina

Yang paling parah dari tingkatan dayyuts adalah laki-laki yang membiarkan istrinya berzina. Mungkin tidak secara langsung membiarkannya berzina di depan mata. Tetapi dengan cara membiarkan istrinya bebas bergaul dengan laki-laki lain, mojok, dugem, pergi ke tempat-tempat maksiat dan sebagainya yang kemudian menjadi sarana dan ‘jalan’ bagi istrinya berbuat zina. Na’udzu billah.

Waktu-Waktu Terkabulnya Do’a

Allah mencintai hamba yang berdoa kepada-Nya

Manusia bila ada orang meminta sesuatu darinya ia akan merasa kesal dan berat hati. Sedangkan Allah Ta’ala mencintai hamba yang meminta kepada-Nya. Sebagaimana perkataan seorang penyair:


الله يغضب إن تركت سؤاله  وبني آدم حين يسأل يغضب

“Allah murka pada orang yang enggan meminta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta ia marah”

Ya, Allah mencintai hamba yang berdoa kepada-Nya, bahkan karena cinta-Nya Allah memberi ‘bonus’ berupa ampunan dosa kepada hamba-Nya yang berdoa. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

يا ابن آدم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي

“Wahai manusia, selagi engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, aku mengampuni dosamu dan tidak aku pedulikan lagi dosamu” (HR. At Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits hasan shahih’)

Sungguh Allah memahami keadaan manusia yang lemah dan senantiasa membutuhkan akan Rahmat-Nya. Manusia tidak pernah lepas dari keinginan, yang baik maupun yang buruk. Bahkan jika seseorang menuliskan segala keinginannya dikertas, entah berapa lembar akan terpakai.

Maka kita tidak perlu heran jika Allah Ta’ala melaknat orang yang enggan berdoa kepada-Nya. Orang yang demikian oleh Allah ‘Azza Wa Jalla disebut sebagai hamba yang sombong dan diancam dengan neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Berdoalah kepadaKu, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Ghafir: 60)

Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Maha Pemurah terhadap hamba-Nya, karena hamba-Nya diperintahkan berdoa secara langsung kepada Allah tanpa melalui perantara dan dijamin akan dikabulkan. Sungguh Engkau Maha Pemurah Ya Rabb…
Berdoa Di Waktu Yang Tepat

Diantara usaha yang bisa kita upayakan agar doa kita dikabulkan oleh Allah Ta’ala adalah dengan memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang dijanjikan oleh Allah bahwa doa ketika waktu-waktu tersebut  dikabulkan. Diantara waktu-waktu tersebut adalah:
1. Ketika sahur atau sepertiga malam terakhir

Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang berdoa disepertiga malam yang terakhir. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya:

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون

“Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18)

Sepertiga malam yang paling akhir adalah waktu yang penuh berkah, sebab pada saat itu Rabb kita Subhanahu Wa Ta’ala turun ke langit dunia dan mengabulkan setiap doa hamba-Nya yang berdoa ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا ، حين يبقى ثلث الليل الآخر، يقول : من يدعوني فأستجيب له ، من يسألني فأعطيه ، من يستغفرني فأغفر له

“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758)

Namun perlu dicatat, sifat ‘turun’ dalam hadits ini jangan sampai membuat kita membayangkan Allah Ta’ala turun sebagaimana manusia turun dari suatu tempat ke tempat lain. Karena tentu berbeda. Yang penting kita mengimani bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, karena yang berkata demikian adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diberi julukan Ash shadiqul Mashduq (orang jujur yang diotentikasi kebenarannya oleh Allah), tanpa perlu mempertanyakan dan membayangkan bagaimana caranya.

Dari hadits ini jelas bahwa sepertiga malam yang akhir adalah waktu yang dianjurkan untuk memperbanyak berdoa. Lebih lagi di bulan Ramadhan, bangun di sepertiga malam akhir bukanlah hal yang berat lagi karena bersamaan dengan waktu makan sahur. Oleh karena itu, manfaatkanlah sebaik-baiknya waktu tersebut untuk berdoa.
2. Ketika berbuka puasa

Waktu berbuka puasa pun merupakan waktu yang penuh keberkahan, karena diwaktu ini manusia merasakan salah satu kebahagiaan ibadah puasa, yaitu diperbolehkannya makan dan minum setelah seharian menahannya, sebagaimana hadits:

للصائم فرحتان : فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه

“Orang yang berpuasa memiliki 2 kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-Nya kelak” (HR. Muslim, no.1151)

Keberkahan lain di waktu berbuka puasa adalah dikabulkannya doa orang yang telah berpuasa, sebagaimana sabda  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم

‘”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi” (HR. Tirmidzi no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi)

Oleh karena itu, jangan lewatkan kesempatan baik ini untuk memohon apa saja yang termasuk kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Namun perlu diketahui, terdapat doa yang dianjurkan untuk diucapkan ketika berbuka puasa, yaitu doa berbuka puasa. Sebagaimana hadits

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)” (HR. Abu Daud no.2357, Ad Daruquthni 2/401, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232)

Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan lafazh berikut:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

adalah hadits palsu, atau dengan kata lain, ini bukanlah hadits. Tidak terdapat di kitab hadits manapun. Sehingga kita tidak boleh meyakini doa ini sebagai hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Oleh karena itu, doa dengan lafazh ini dihukumi sama seperti ucapan orang biasa seperti saya dan anda. Sama kedudukannya seperti kita berdoa dengan kata-kata sendiri. Sehingga doa ini tidak boleh dipopulerkan apalagi dipatenkan sebagai doa berbuka puasa.

Memang ada hadits tentang doa berbuka puasa dengan lafazh yang mirip dengan doa tersebut, semisal:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim”

Dalam Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341), dinukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani: “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga di-dhaif-kan oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Atau doa-doa yang lafazh-nya semisal hadits ini semuanya berkisar antara hadits dhaif atau munkar.
3. Ketika malam lailatul qadar

Malam lailatul qadar adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Malam ini lebih utama dari 1000 bulan. Sebagaimana firmanAllah Ta’ala:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam Lailatul Qadr lebih baik dari 1000 bulan” (QS. Al Qadr: 3)

Pada malam ini dianjurkan memperbanyak ibadah termasuk memperbanyak doa. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ummul Mu’minin Aisyah Radhiallahu’anha:

قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني

“Aku bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, menurutmu apa yang sebaiknya aku ucapkan jika aku menemukan malam Lailatul Qadar? Beliau bersabda: Berdoalah:

اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني

Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni [‘Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dan menyukai sifat pemaaf, maka ampunilah aku”]”(HR. Tirmidzi, 3513, Ibnu Majah, 3119, At Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih”)

Pada hadits ini Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha meminta diajarkan ucapan yang sebaiknya diamalkan ketika malam Lailatul Qadar. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan lafadz doa. Ini menunjukkan bahwa pada malam Lailatul Qadar dianjurkan memperbanyak doa, terutama dengan lafadz yang diajarkan tersebut.
4. Ketika adzan berkumandang

Selain dianjurkan untuk menjawab adzan dengan lafazh yang sama, saat adzan dikumandangkan pun termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa.  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ثنتان لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا

“Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)
5. Di antara adzan dan iqamah

Waktu jeda antara adzan dan iqamah adalah juga merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة

“Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”)

Dengan demikian jelaslah bahwa amalan yang dianjurkan antara adzan dan iqamah adalah berdoa, bukan shalawatan, atau membaca murattal dengan suara keras, misalnya dengan menggunakan mikrofon. Selain tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah  Shallallahu’alaihi Wasallam, amalan-amalan tersebut dapat mengganggu orang yang berdzikir atau sedang shalat sunnah. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

لا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة

“Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud no.1332, Ahmad, 430, dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul Afkar, 2/16).

Selain itu, orang yang shalawatan atau membaca Al Qur’an dengan suara keras di waktu jeda ini, telah meninggalkan amalan yang di anjurkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu berdoa. Padahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk memohon kepada Allah segala sesuatu yang ia inginkan. Sungguh merugi jika ia melewatkannya.
6. Ketika sedang sujud dalam shalat

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد . فأكثروا الدعا

“Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu” (HR. Muslim, no.482)
7. Ketika sebelum salam pada shalat wajib

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قيل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع قال جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات


“Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, kapan doa kita didengar oleh Allah? Beliau bersabda: “Diakhir malam dan diakhir shalat wajib” (HR. Tirmidzi, 3499)

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Zaadul Ma’ad (1/305) menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘akhir shalat wajib’ adalah sebelum salam. Dan tidak terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib. Ahli fiqih masa kini, Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata: “Apakah berdoa setelah shalat itu disyariatkan atau tidak? Jawabannya: tidak disyariatkan. Karena Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ

“Jika engkau selesai shalat, berdzikirlah” (QS. An Nisa: 103). Allah berfirman ‘berdzikirlah’, bukan ‘berdoalah’. Maka setelah shalat bukanlah waktu untuk berdoa, melainkan sebelum salam” (Fatawa Ibnu Utsaimin, 15/216).

Namun sungguh disayangkan kebanyakan kaum muslimin merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib yang sebenarnya tidak disyariatkan, kemudian justru meninggalkan waktu-waktu mustajab yang disyariatkan yaitu diantara adzan dan iqamah, ketika adzan, ketika sujud dan sebelum salam.
8. Di hari Jum’at

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر يوم الجمعة ، فقال : فيه ساعة ، لا يوافقها عبد مسلم ، وهو قائم يصلي ، يسأل الله تعالى شيئا ، إلا أعطاه إياه . وأشار بيده يقللها

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan tentang hari  Jumat kemudian beliau bersabda: ‘Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta’. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut” (HR. Bukhari 935, Muslim 852 dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu)

Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud. Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang kuat.

Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:

هي ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضى الصلاة

“Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai” (HR. Muslim, 853 dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu).

Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi.

Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:

يوم الجمعة ثنتا عشرة يريد ساعة لا يوجد مسلم يسأل الله عز وجل شيئا إلا أتاه الله عز وجل فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر

“Dalam 12 jam hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu kepada Allah Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah ashar” (HR. Abu Daud, no.1048 dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu. Dishahihkan Al Albani di Shahih Abi Daud). Pendapat ini dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih masyhur dikalangan para ulama.

Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan pendapat ini.

Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada dua waktu yang disebutkan”. Dengan demikian seseorang akan lebih memperbanyak doanya di hari Jum’at tidak pada beberapa waktu tertentu saja. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu ‘Abdil Barr.
9. Ketika turun hujan

Hujan adalah nikmat Allah Ta’ala. Oleh karena itu tidak boleh mencelanya. Sebagian orang merasa jengkel dengan turunnya hujan, padahal yang menurunkan hujan tidak lain adalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, daripada tenggelam dalam rasa jengkel lebih baik memanfaatkan waktu hujan untuk berdoa memohon apa yang diinginkan kepada Allah Ta’ala:

ثنتان ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر


“Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun” (HR Al Hakim, 2534, dishahihkan Al Albani di Shahih Al Jami’, 3078)
10. Hari Rabu antara Dzuhur dan Ashar

Sunnah ini belum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, yaitu dikabulkannya doa diantara shalat Zhuhur dan Ashar dihari Rabu. Ini diceritakan oleh Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم دعا في مسجد الفتح ثلاثا يوم الاثنين، ويوم الثلاثاء، ويوم الأربعاء، فاستُجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين فعُرِفَ البِشْرُ في وجهه
قال جابر: فلم ينزل بي أمر مهمٌّ غليظ إِلاّ توخَّيْتُ تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة


“Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa di Masjid Al Fath 3 kali, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu diantara dua shalat. Ini diketahui dari kegembiraan di wajah beliau. Berkata Jabir : ‘Tidaklah suatu perkara penting yang berat pada saya kecuali saya memilih waktu ini untuk berdoa,dan saya mendapati dikabulkannya doa saya‘”

Dalam riwayat lain:

فاستجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين الظهر والعصر

“Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu di antara shalat Zhuhur dan Ashar” (HR. Ahmad, no. 14603, Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid, 4/15, berkata: “Semua perawinya tsiqah”, juga dishahihkan Al Albani di Shahih At Targhib, 1185)
11. Ketika Hari Arafah

Hari Arafah adalah hari ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Pada hari tersebut dianjurkan memperbanyak doa, baik bagi jama’ah haji maupun bagi seluruh kaum muslimin yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خير الدعاء دعاء يوم عرفة

“Doa yang terbaik adalah doa ketika hari Arafah” (HR. At Tirmidzi, 3585. Di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
12. Ketika Perang Berkecamuk

Salah satu keutamaan pergi ke medan perang dalam rangka berjihad di jalan Allah adalah doa dari orang yang berperang di jalan Allah ketika perang sedang berkecamuk, diijabah oleh Allah Ta’ala. Dalilnya adalah hadits yang sudah disebutkan di atas:

ثنتان لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا

“Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)
13. Ketika Meminum Air Zam-zam

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ماء زمزم لما شرب له

“Khasiat Air Zam-zam itu sesuai niat peminumnya” (HR. Ibnu Majah, 2/1018. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah, 2502)

Wednesday 9 September 2015

BAHAGIAKAN ANAK PEREMPUAN LUAR BIASA BESAR PAHALANYA

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ

“Barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku” (Anas bin Malik berkata : Nabi menggabungkan jari-jari jemari beliau). (HR Muslim 2631)

Penjelasan ulama mengapa demikian, karena anak perempuan lebih sulit untuk di didik sukses akherat (klo sukses dunia mah banyak) karena sifat asal wanita yang lebih mudah condong terhadap dunia dan mendahulukan perasaan
Keutamaan Menyayangi Anak Perempuan



Seseorang yang mendidik anaknya dengan baik dan menyayangi mereka, terutama anak perempuan, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar. Dengan didikan dan kasih sayang bisa mengantarkan orang tuanya masuk surga dan terselamatkan dari siksa neraka.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

جَاءَتْنِى امْرَأَةٌ وَمَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا فَسَأَلَتْنِى فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِى شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَأَخَذَتْهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا شَيْئًا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ وَابْنَتَاهَا فَدَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَحَدَّثْتُهُ حَدِيثَهَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ ابْتُلِىَ مِنَ الْبَنَاتِ بِشَىْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ »

“Ada seorang wanita masuk ke tempatku dan bersamanya ada dua anak gadisnya. Wanita itu meminta sesuatu. Tetapi aku tidak menemukan sesuatu apa pun di sisiku selain sebiji kurma saja. Lalu aku memberikan padanya. Kemudian wanita tadi membaginya menjadi dua untuk kedua anaknya itu, sedangkan ia sendir tidak makan sedikit pun dari kurma tersebut. Setelah itu ia berdiri lalu keluar.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku, lalu saya ceritakan hal tadi kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Barangsiapa yang diberi cobaan sesuatu karena anak-anak perempuan seperti itu, lalu ia berbuat baik kepada mereka maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang untuknya dari siksa neraka.” (HR. Bukhari no. 5995 dan Muslim no. 2629)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

جَاءَتْنِى مِسْكِينَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِى كَانَتْ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا فَأَعْجَبَنِى شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِى صَنَعَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ »

“Saya didatangi oleh seorang wanita miskin yang membawa kedua anak gadisnya. Lalu saya memberikan makanan kepada mereka berupa tiga buah kurma. Wanita itu memberikan setiap sebiji kurma itu kepada kedua anaknya dan sebuah lagi diangkat lagi ke mulutnya. Namun, kedua anaknya itu meminta kurma yang hendak dimakannya tersebut. Kemudian wanita tadi memotong buah kurma yang hendak dimakan itu menjadi dua bagian dan diberikan pada kedua anaknya.
Keadaan wanita itu membuat saya takjub, maka saya beritahukan perihal wanita itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau pun bersabda, 
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan untuk wanita itu masuk surga karena perbuatannya atau akan dibebaskan juga dari siksa neraka.” (HR. Muslim no. 2630).

Keutamaan Menyayangi dan Berbuat Baik pada Anak Perempuan

Dua hadits di atas menunjukkan mengenai hukum mendidik anak dan berbuat baik pada mereka. Jika anak tersebut perempuan, maka lebih tekankan lagi. Pahala mendidik anak perempuan lebih besar berdasarkan hadits yang dikemukakan di atas.

Apa alasannya kenapa sampai Islam lebih perhatian pada pendidikan anak perempuan? Ada beberapa alasan di sini:

1- Karena ada sebagian orang yang kurang suka dengan anak perempuan seperti pada masa Jahiliyyah sebelum Islam. Itulah mengapa sampai disebut dalam hadits yang dikaji ini, anak wanita itu adalah ujian karena umumnya banyak yang tidak suka. Sebagaimana diterangkan pula mengenai keadaan orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.” (QS. An Nahl: 58).

2- Nafkah yang diberikan pada perempuan lebih banyak.

3- Mendidik anak perempuan lebih susah.

4- Pendidikan yang baik pada anak perempuan akan membuat mereka mewariskan didikan tersebut pada anak-anaknya nanti dan wanita itulah yang bertindak sebagai pendidik di rumah.

Juga dijanjikan dalam hadits bahwa siapa yang mendidik anak perempuannya dengan baik maka ia akan terbentengi dari siksa neraka dan dijanjikan masuk surga. Dalam hadits lainnya, dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ (وَضَمَّ أَصَابِعَهُ)

“Siapa yang mendidik dua anak perempuan hingga ia dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia ….” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekatkan jari jemarinya. (HR. Muslim no. 2631). Artinya, begitu dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Doa Untuk Kedua Orang Tua Bahasa Arab, Latin &Terjemahannya


Doa untuk kedua orang tua lengkap arab, latin & artinya


Berikut adalah bacaan doa untuk ibu dan bapak (kedua orang tua) lengkap bahasa arab, latin dan artinya.

اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا.

ALLOHUMMAGHFIRLII WALIWAALIDAYYA WAR HAMHUMAA KAMA RABBAYAANII SHAGIIRAA

    Artinya: “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku (Ibu dan Bapakku), sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku diwaktu kecil”.

PELAJARI JUGA DOA TAHLIL (HADIAH ALFATIHAH) ARAB & LATIN ARTINYA

MEMENUHI HAK ANAK ADALAH KEWAJIBAN ORANG TUA


Anak merupakan salah satu amanah dari Allah SWT yang harus mendapat perhatian kita secara serius bagi setiap orang tua. Syekh Imam al Ghozali mengatakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan anak terbagi menjadi 3 (tiga ) bagian : 


1. Anak adalah bunga-bunga kehidupanmu 
2. Anak adalah pembatu dalam kehidupanmu 
3. Anak adalah temanmu atau anak adalah musuhmu. 

Oleh karena itu, memperhatikan keadaan anak merupakan tanggung jawab orang tua, terutama dalam hal pendidikan mereka, agar kelak menjadi anak yang shaleh, yakni anak sebagai bunga-bunga, pembantu, dan teman dalam kehidupan orang tua. Apabila anak itu shaleh, tenanglah hati orang tuannya. Ia akan senantiasa menyenangkan hati kedua orang tuanya baik dikala hidupnya maupun matinya. Ia memberi manfaat kepada mereka di dunia dengan ketaatan dan kebajikan, pergaulan yang baik dan bertawadhu’ kepada mereka berdua. Apabila mereka sudah berada di alam kematiannya, ia pun memberi manfaat dengan do’a untuknya dan memohon belas kasihan Allah untuknya dengan sedekah dan istighfar sehingga kedua orang tuannya di alam kubur berturut-turut menerima amal kebajikan dan amal ketaatan anaknya yang shaleh.

Rasulullah SAW telah bersabda :“Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amal-amalnya kecuali tiga perkara yaitu ; sedekah jariyah, anak yang shaleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya dan ilmu yang bermanfaat” Adapun sebab-sebab pokok yang bisa membentuk putra putri menjadi anak yang shaleh adalah menunaikan kewajiban mereka, meneliti kebutuhan dan hal ihwal mereka, melatih mereka dengan disiplin untuk melaksanakan syari’at agama, tanpa adanya kekerasan dan kekasaran, namun juga tidak meremehkan dan melupakan atau keteledoran di dalam mengawasi mereka sehingga mereka (putra-putri) mampu mensikapi dan meneladani perilaku para pendahulu mereka dengan mempercepat langkah-langkah betis kesungguhan dan kemauan.

Ada beberapa hal yang menjadi hak anak, yang menjadi kewajiban bagi orang tua, yaitu :

Pertama ; Memberi nama anaknya dengan nama yang baik dan terpuji.

Orang tua berkewajiban memberi nama anak yang baik dan terpuji seperti Muhammad, Ahmad, Abdullah, Abdurrahman dan nama-nama lain yang bermakna baik, dan ini akan menciptakan anak-anak yang selalu optimis dalam kehidupannya. Nama adalah do’a agar hidup bahagia baik di dunia maupun di akhirat, dengan memberikan nama yang baik dan terpuji berarti sebagai permohonan dan harapan agar anaknya menjadi seorang anak yang shaleh. Sebaliknya orang tua tidak boleh memberi nama yang tidak baik terhadap anak-anaknya, seperti si jahal (bodoh), si fakhisah (keji) dan nama-nama yang tidak baik lainnya, ini dapat membuat anak pesimis dalam hidupnya baik dengan dirinya apalagi dengan orang lain.

Kedua ; Menanamkan iman dan akhlak kepada putra putrinya.

Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. Lukman : 13)

Lukmanul Al Hakim mementingkan pendidikan iman sebagai dasar kehidupan bagi putranya, ia mendidik anaknya supaya tidak berbuat syirik kepada Allah SWT.

Orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai agama, pendidikan iman terhadap putra-putrinya sebagai upaya agar mereka selalu menepati kewajiban-kewajiban syari’at, aktif dalam menunaikan shalat dan semua ibadah yang diwajibkan Allah SWT kepada mereka, menjunjung tinggi segala perintah Allah dan tidak meremehkannya. Begitu juga akhlakul karimah, ia mempunyai peranan penting dalam segala segi hidup dan kehidupan manusia lahir batin, dengan kekokohan akhlakul karimah lambat laun sifat-sifat yang tercela yang semula mendarah daging itu terlepas dan tergusur dari realitas kehidupan sehingga ia tidak melanggar norma-norma kesusilaan, tidak terjerumus dalam lembah kemungkaran dan kemaksiatan.

Ketiga ; Memberikan nafkah yang halalan tayyiban (halal lagi baik).

Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :

“Makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.” (Q.S. Al Mukminun :51)

Dari ayat tersebut mengandung makna bahwa memakan sesuatu yang halal terlebih dahulu sebelum menunaikan amal shaleh. Makanan terhadap agama laksana pondasi dari suatu bangunan. Jika pondasinya teguh dan kuat, bangunan akan tegak dan menjulang kokoh. Namun jika pondasi itu rapuh dan bengkok maka bangunan akan runtuh. Makanan sangat berpengaruh terhadap pribadi seseorang baik atau buruk. Oleh karena itu agar anak mempunyai pribadi yang baik, sebagai orang tua harus teliti dan hati-hati di dalam setiap pekerjaan, berusaha dan bekerja dalam bidang usaha yang halal dan bukan merupakan pekerjaan yang di larang agama.

Keempat ; Mengajarkan kecintaan pada Al Qur’an kepada putra putrinya.
Rasulullah SAW bersabda : “Hendaklah engkau membaca Al Qur’an, sebab ia adalah cahaya bagimu di bumi dan simpananmu di langit”. (H.R. Ibnu Hibban)

Al Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pegangan hidup bagi orang yang beriman dalam melaksanakan syari’at Islam, yang harus di mengerti oleh umat Islam. Ia merupakan sumber ilmu dan juga undang-undang dalam kehidupan menuju keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus mengajarkan Al Qur’an kepada anak-anaknya, mulai dari membaca, memahami sehingga dapat mengamalkan isi kandungannya dalam kehidupan.

Kelima ; Menikahkan anak, apabila telah dewasa dan berkemampuan.
Jika putra putrinya telah dewasa dan telah berkemampuan, maka kewajiban berikutnya sebagai orang tua adalah menikahkannya, karena apabila tidak dinikahkan, maka orang tuanya pun ikut menangung dosanya, jika dia sampai melanggar atau berbuat zina. Oleh karena itu orang tua harus mencarikan jodoh untuk anaknya dengan pasangan yang sesuai (kuf-u), utamanya dari segi agama dan akhlakul karimah. Rasulullah SAW bersabda :

“Perempuan itu dinikahkan karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikan dan agamanya. Maka dari itu dapatkanlah perempuan yang baik agamanya, tentulah kedua tanganmu akan tenang (kehidupanmu menjadi tenang dan harmonis).” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Agama adalah faktor penentu keselamatan dan kebahagiaan kehidupan rumah tangganya baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan selain itu seperti harta, kecantikan maupun nasab itu dapat sirna dan lenyap apabila ia sendiri lemah iman dan rusak akhlaknya. Inilah pentingnya orang tua menunaikan hak anak-anaknya sehingga di masa yang akan datang mereka menjadi anak yang shaleh yang berguna, taat berbakti kepada agama, orang tua, bangsa dan negara.

Daging Kelinci

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنْفَجْنَا أَرْنَبًا وَنَحْنُ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ ، فَسَعَى الْقَوْمُ فَلَغَبُوا ، فَأَخَذْتُهَا فَجِئْتُ بِهَا إِلَى أَبِى طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا ، فَبَعَثَ بِوَرِكَيْهَا – أَوْ قَالَ بِفَخِذَيْهَا – إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَبِلَهَا

“Kami pernah berusaha menangkap kelinci di lembah Marru Zhohran. Orang-orang berusaha menangkapnya hingga mereka kelelahan. Kemudian aku berhasil menangkapnya lalu aku berikan kepada Abu Tholhah. Diapun menyembelihnya kemudian daging paha diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan beliau menerimanya.” (HR. Bukhari 5535, Muslim 1953, dan Turmudzi 1789).

Kemudian dalam hadis lain dari Muhammad bin Shafwan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَصَبْتُ أَرْنَبَيْنِ فَلَمْ أَجِدْ مَا أُذَكِّيهِمَا بِهِ فَذَكَّيْتُهُمَا بِمَرْوَةٍ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَأَمَرَنِي بِأَكْلِهِمَا


Saya menangkap 2 kelinci, namun saya tidak mendapatkan alat untuk menyembelihnya, hingga saya bisa menyembelihnya di Marwah. Kemudian aku tanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menyuruhku untuk memakannya. (HR. Nasai 4313, Abu Daud 2822, Ibnu Majah 3175, dan dishahihkan al-Albani).

Dua hadis di atas memberikan kesimpulan bahwa kelinci hukumnya halal. Dan ini merupakan pendapat Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Said, Atha, Ibnul Musayyab, Al-Laits, Malik, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Bahkan Ibnu Qudamah mengatakan,

ولا نعلم أحدا قائلا بتحريمها، إلا شيئا روي عن عمرو بن العاص

“Kami tidak mengetahui ada seorangpun ulama yang berpendapat haramnya kelinci kecuali satu riwayat dari Amr bin Al-Ash.” (Al-Mughni, 9/412).

Diantara ulama melarang kelinci, alasannya bukan masalah halal-haram, tapi terkait masalah kesehatan. Setelah menyebutkan hadis Anas bin Malik tentang kelinci, Turmudzi mengatakan,

وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ: لَا يَرَوْنَ بِأَكْلِ الأَرْنَبِ بَأْسًا، وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ أَكْلَ الأَرْنَبِ، وَقَالُوا: إِنَّهَا تُدْمِي

Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Mereka berpendapat bahwa makan kelinci tidak masalah. Namun ada sebagian ulama yang memakruhkan makan kelinci, mereka beralasan, Kelinci membuat mudah mimisan. (Jami’ at-Turmudzi, 4/251).

TATACARA BERTAMU


Bertamu merupakan kegiatan sosial yang telah diatur adab dan etikanya dalam Islam. Di antara adab dan etika ketika bertamu adalah sebagai berikut:

CLICK DISINI UNTUK BUKA KALKULATOR ZAKAT 
1. Memilih Waktu Berkunjung

Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu memilih waktu yang tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan perasaan yang kurang enak bagi tuan rumah bahkan terkadang mengganggunya. Dikatakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

“Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore.” (HR. al-Bukhari no. 1706 dan Muslim no. 1928)

2. Meminta Izin kepada Tuan Rumah

Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat.” (An-Nur: 27)

Di antara hikmah yang terkandung di dalam permintaan izin adalah untuk menjaga pandangan mata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.” (HR. al-Bukhari no.5887 dan Muslim no. 2156 dari sahabat Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu)

Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagaimana pakaian sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin terlebih dahulu kepada penghuni rumah, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya. Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri, perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diam-diam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala melarang kaum mukminin untuk memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)

Adapun tata cara meminta izin adalah sebagai berikut:

a. Mengucapkan salam
Seseorang yang bertamu diperintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, sebagaimana ayat 27 dari surah An-Nur di atas. Pernah salah seorang sahabat dari Bani ‘Amir meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang berada di rumahnya. Orang tersebut mengatakan, “Bolehkah saya masuk?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan pembantunya dengan sabdanya, “Keluarlah, ajari orang itu tata cara meminta izin, katakan kepadanya, “Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya masuk?” Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia mengatakan, “Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya masuk?” Akhirnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempersilakannya untuk masuk ke rumah beliau. (HR. Abu Dawud no. 5177)

Perhatikanlah wahai pembaca rahimakumullah, perkataan “bolehkah saya masuk” atau yang semisalnya saja belum cukup, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dulu. Bahkan mengucapkan salam ketika bertamu juga merupakan adab yang pernah dicontohkan oleh para malaikat (yang menjelma sebagai tamu) yang datang kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam sebagaimana yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya (yang artinya):

“Ketika mereka (para malaikat) masuk ke tempatnya (Ibrahim) lalu mengucapkan salam.” (Adz–Dzariyat: 25)

b. Meminta izin sebanyak tiga kali
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Meminta izin itu tiga kali, jika diizinkan maka masuklah, jika tidak, maka pulanglah.” (HR. al-Bukhari no. 5891 dan Muslim no. 2153 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita bahwa batasan akhir meminta izin itu tiga kali. Jika penghuni rumah mempersilahkan masuk maka masuklah, jika tidak ada jawaban atau keberatan untuk menemui pada waktu itu maka pulanglah. Yang demikian itu bukan suatu aib bagi penghuni rumah tersebut dan bukan celaan bagi orang yang hendak bertamu, jika alasan penolakan itu dibenarkan oleh syariat. Bahkan merupakan penerapan dari firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya):

“Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembalilah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nur: 28)

c. Jangan mengintip ke dalam rumah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barang siapa mengintip ke dalam rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka sungguh telah halal bagi mereka untuk mencungkil matanya.” (HR. Muslim no. 2158 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dalam hadits ini, terdapat ancaman keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seseorang yang bertamu dengan mengintip atau melongok ke dalam rumah yang ingin dikunjungi. Maka bagi tuan rumah berhak untuk mengamalkan hadits ini ketika ada seseorang yang berbuat demikian tanpa harus memberi peringatan terlebih dahulu pada seseorang tersebut dan tidak ada baginya keharusan untuk membayar diyat (harta tebusan) ataupun qishash (hukuman balas) terhadap apa yang dia lakukan terhadap orang tersebut.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lainnya juga dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa melongok ke dalam rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka mereka boleh mencungkil matanya, tanpa harus membayar diyat dan tanpa qishash.” (Lihat Syarh Shahih Muslim dan Fathul Bari)

3. Mengenalkan Diri

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang kisah Isra` Mi’raj, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kemudian Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya, “Siapa anda?” Jibril menjawab, “Jibril.” Kemudian ditanya lagi, “Siapa yang bersama anda?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya, “Siapa anda?” Jibril menjawab, “Jibril.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari kisah ini, al-Imam an Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin membuat bab khusus, “Bab bahwasanya termasuk sunnah jika seorang yang minta izin (bertamu) ditanya namanya, “Siapa anda?” maka harus dijawab dengan nama atau kunyah (panggilan dengan abu fulan/ ummu fulan) yang sudah dikenal, dan makruh jika hanya menjawab, “Saya” atau yang semisalnya.” Ummu Hani` radhiyallahu ‘anha, salah seorang sahabiyah mengatakan, “Aku mendatangi Nabi ketika beliau sedang mandi dan Fathimah menutupi beliau. Beliau bersabda, “Siapa ini?” Aku katakan, “Saya Ummu Hani`.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Demikianlah bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang langsung dipraktikkan oleh para sahabatnya, bahkan beliau pernah marah kepada salah seorang sahabatnya ketika kurang memperhatikan adab dan tata cara yang telah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bimbingkan ini. Sebagaimana dikisahkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu,

“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku mengetuk pintunya, beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku menjawab, “Saya.” Maka beliau pun bersabda, “Saya, saya.” Seolah-olah beliau tidak menyukainya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

4. Menyebutkan Keperluannya

Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan rumah supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah tujuan kunjungan tersebut, serta dapat mempertimbangkan dengan waktu dan keperluannya sendiri. Hal ini sebagaimana kisah para malaikat yang bertamu kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“Ibrahim bertanya, “Apakah urusanmu wahai para utusan?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa.” (Adz-Dzariyat: 32)

5. Memintakan izin untuk tamu yang tidak diundang.

Jika bertamu dalam rangka memenuhi undangan, namun ada orang lain yang tidak diundang ikut bersamanya, maka hendaknya mengabarkan kepada tuan rumah dan memintakan izin untuknya. Hal ini pernah dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana kisah sahabat Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

“Di kalangan kaum Anshar ada seseorang yang dikenal dengan panggilan Abu Syu’aib. Dia mempunyai seorang budak penjual daging. Abu Syu’aib berkata kepadanya, “Buatlah makanan untukku, aku akan mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama empat orang lainnya. Maka dia pun mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama empat orang lainnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang bersama 4 orang lainnya, ternyata ada seorang lagi yang mengikuti mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya anda mengundang kami berlima, dan orang ini telah mengikuti kami, jikalau anda berkenan anda dapat mengizinkannya dan jika tidak anda dapat menolaknya.” Maka Abu Syu’aib berkata, “Ya, saya mengizinkannya.” (HR. al-Bukhari no. 5118 dan Muslim no. 2036)

6. Tidak Memberatkan Tuan Rumah dan Segera Kembali ketika Urusannya Selesai.

Bagi seorang tamu hendaknya berusaha tidak membuat repot atau menyusahkan tuan rumah dan segera kembali ketika urusannya selesai. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“…tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan…” (Al-Ahzab: 53)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Jamuan tamu itu tiga hari dan perjamuannya (yang wajib) satu hari satu malam. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya hingga menyebabkan saudaranya itu terjatuh dalam perbuatan dosa. Para sahabat bertanya, “Bagaimana dia bisa menyebabkan saudaranya terjatuh dalam perbuatan dosa?” Beliau menjawab, “Dia tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu yang bisa disuguhkan kepadanya.” (HR. Muslim no. 48 dan Abu Dawud no. 3748 dari sahabat Abu Syuraih al-Khuza’i radhiyallahu ‘anhu)

Disebutkan oleh para ulama bahwa perjamuan yang wajib dilakukan tuan rumah kepada tamu hanya satu hari satu malam (24 jam). Jamuan tiga hari berikutnya hukumnya mustahab (sunnah) dan lebih utama. Adapun jika lebih dari itu maka sebagai sedekah. Maka dari itu, bagi tamu yang menginap kalau sudah lewat dari tiga hari hendaknya meminta izin kepada tuan rumah. Kalau tuan rumah mengizinkan atau menahan dirinya maka tidak mengapa bagi si tamu tetap tinggal, dan jika sebaliknya maka wajib bagi si tamu untuk pergi. Karena keberadaan si tamu yang lebih dari tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam perbuatan ghibah, atau berniat untuk menyakitinya atau berburuk sangka. (Lihat Syarh Shahih Muslim)

7. Mendoakan Tuan Rumah

Hendaknya seorang tamu mendoakan tuan rumah atas jamuan yang dihidangkan kepadanya. Di antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْ مَا رَزَقْتَهُمْ وَاغْفِرْ لَهُمْ وَ ارْحَمْهُمْ


“Ya Allah berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka.” (HR. Muslim no. 2042 dari sahabat Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu)

CLICK DISINI UNTUK BUKA KALKULATOR ZAKAT  

ARTI MENGHADIRI UNDANGAN DALAM ISLAM


Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya,”Hak muslim pada muslim yang lain ada enam yaitu,"

1. Apabila engkau bertemu, berilah salam padanya,
2. Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya,
3. Apabila engkau dimintai nasehat, berilah nasehat padanya,
4. Apabila dia bersin lalu mengucapkan ’alhamdulillah’, doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’, pen),
5. Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan
6. Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya. (HR. Muslim).
Di antara hak yang harus ditunaikan seorang muslim pada muslim yang lain dalam hadits ini adalah memenuhi undangan.
CLICK DISINI UNTUK BUKA KALKULATOR ZAKAT 
Memenuhi Undangan Seorang Muslim

Hukum memenuhi undangan seorang muslim adalah disyari’atkan, tanpa adanya perselisihan di antara para ulama. Namun hal ini dengan syarat:
1. orang yang mengundang adalah seorang muslim,
2. orang yang mengundang tidak terang-terangan dalam berbuat maksiat, dan
3. tidak terdapat maksiat yang tidak mampu dihilangkan dalam acara yang akan dilangsungkan.ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Akan tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa undangan yang wajib dipenuhi hanya undangan walimahan (resepsi pernikahan). Sedangkan undangan selain walimahan hanya dianjurkan (tidak wajib) untuk dipenuhi. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Tawdihul Ahkam, Syaikh Ali Basam)

Hukum Memenuhi Undangan Walimahan adalah Wajib
ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Apabila seseorang di antara kalian diundang untuk menghadiri walimatul ’ursy (resepsi pernikahan, pen), penuhilah.” (HR. Muslim) dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya,”Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah/pernikahan, sungguh dia telah durhaka pada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim). Dari dua hadits ini terlihat jelas bahwasanya hukum memenuhi undangan walimahan adalah wajib, jika memenuhi 3 syarat di atas. Undangan tersebut juga wajib dipenuhi jika undangan tersebut adalah undangan pertama­ dan pada hari pertama (jika walimahannya lebih dari sehari, yang wajib dipenuhi hanya hari pertama saja, pen). (Lihat Tawdihul Ahkam, Syaikh Ali Basam dan Al Qoulul Mufid ’ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu Utsaimin)
ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Memenuhi Undangan Orang Kafir

Mungkin ada yang bertanya, bolehkah kita memenuhi undangan orang kafir (selain muslim, pen)? Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah berkata,”Apabila yang mengundang adalah orang kafir, tidak boleh (haram) memenuhi undangan tersebut, bahkan tidak disyari’atkan, kecuali apabila terdapat maslahat (manfaat) di dalamnya. Seperti untuk mengajaknya masuk Islam atau dalam rangka perdamaian. Hal seperti ini tidaklah mengapa karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah memenuhi undangan orang Yahudi yang mengundangnya di Madinah. (Syarh Riyadhus Sholihin)
AARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAMRTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Memenuhi Undangan Orang Fasik
ARTARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAMI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Apabila yang mengundang adalah seorang muslim, namun dia terang-terangan dalam berbuat maksiat (fasik) seperti mencungkur jenggot, merokok di muka umum atau melakukan bentuk kemaksiatan yang lain, maka memenuhi undangan dari orang semacam ini tidaklah wajib.
Akan tetapi, jika dalam memenuhi undangan tersebut terdapat maslahat (manfaat), maka boleh menghadirinya. Sedangkan apabila dalam memenuhi undangan tersebut tidak terdapat maslahat, maka perlu dipertimbangkan lagi, yaitu bisa memilih untuk datang atau tidak. (Syarh Riyadhus Sholihin) ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Bagaimana Jika dalam Acara Walimahan terdapat Kemungkaran?
ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Apabila seseorang mampu merubah kemungkaran, dia wajib memenuhi undangan tersebut 
yaitu undangan walimatul ’ursy yang undangannya wajib dipenuhi-, dengan dua tinjauan yaitu :
ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
1.  Untuk menghilangkan kemungkaran dan
2.  Untuk memenuhi undangan saudaranya.
ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Adapun jika dalam acara tersebut terdapat kemungkaran dan tidak mampu dirubah seperti di dalamnya terdapat ajakan untuk merokok, atau terdapat alat musik (padahal telah jelas bahwa alat musik adalah haram, pen), maka tidak wajib (haram) untuk memenuhi undangan semacam ini. Karena menghadiri acara semacam ini, walaupun ada rasa benci dalam hati, dapat dikatakan serupa dengan pelaku kemungkaran. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (An Nisa’: 140) (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin)
ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Bagaimana Jika Sifat Undangan Walimahan adalah Umum?
ARTI MENGHADIRI  UNDANGAN DALAM ISLAM
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah berkata,”Apabila kartu undangan walimahan ditujukan untuk semua orang, tidak di-ta’yin (ditentukan) siapa yang diundang, maka mungkin dapat dikatakan ini adalah undangan jafala (undangan yang bersifat umum), tidak wajib memenuhi undangan seperti ini. Namun jika dia yakin bahwa dialah yang diundang, maka memenuhi undangan ini menjadi wajib karena ini sama saja dengan undangan dari lisan si pengundang. (Lihat Al Qoulul Mufid ’ala Kitabit Tauhid)

Sunday 6 September 2015

MEMBELI DAGING ATAU DAGING AYAM DIPASAR


Perlu memahami satu kaidah baku dalam masalah sembelihan,


‘Bahwa hukum asal daging dan sembelihan adalah haram.’

Imam as-Sa’di mengatakan,

اللحوم الأصل فيها التحريم حتى يتيقن الحل ، ولهذا إذا اجتمع في الذبيحة سببان : مبيح ومحرم ، غلب التحريم

Hukum asal daging adalah haram, sampai kita yakin halal. Karena itu, ketika ada binatang yang mati tidak jelas sebabnya, bisa mati karena sebab mubah atau sebab haram, maka dipilih mati dengan sebab haram (tidak boleh dikonsumsi). (Risalah al-Qawaid al-Fiqhiyah, hlm. 29).


Diantara dalil yang menunjukkan kaidah ini adalah hadis dari Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang diajari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang buruan yang halal dan haram,

إِذَا أَرسَلتَ كَلبَكَ وَسَمَّيتَ فَأَمسَكَ وَقَتَلَ فَكُل ، وَإِن أَكَلَ فَلَا تَأكُلْ فَإِنَّمَا أَمسَكَ عَلَى نَفسِهِ ، وَإِذَا خَالَطَ كِلَابًا لَم يُذكَرِ اسمُ اللَّهِ عَلَيهَا فَأَمسَكنَ وَقَتَلنَ فَلَا تَأكُلْ ، فَإِنَّكَ لَا تَدرِي أَيُّهَا قَتَلَ ، وَإِن رَمَيتَ الصَّيدَ فَوَجَدتَهُ بَعدَ يَومٍ أَو يَومَينِ لَيسَ بِهِ إِلَّا أَثَرُ سَهمِكَ فَكُل ، وَإِن وَقَعَ فِي المَاءِ فَلَا تَأكُلْ

“Jika ketika kamu melepas anjing pemburu, kamu membaca Basmillah, lalu dia berhasil menangkap dan mematikan buruannya, silahkan kamu makan. Dan jika anjingmu menangkap buruan itu lalu dia makan sebagian, jangan kamu makan. Karena berarti dia menangkap untuk dirinya sendiri. Jika turut bergabung anjing lain yang ketika berburu tidak dibacakan nama Allah, lalu mereka berhasil menangkapnya dan membunuh buruannya, jangan kau makan. Karena kamu tidak tahu, anjing mana yang membunuh binatang buruan itu. Jika kamu memanah binatang, kemudian kamu baru menemukannya setelah sehari atau dua hari, dan tidak ada bekas luka selain panahmu, silahkan makan. Jika kamu memanah dan jatuh ke air, jangan kamu makan.” (HR. Ahmad 18753 & Bukhari 5484).

Bisa perhatikan dalam hadis di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Adi bin Hatim untuk memakan binatang buruan yang meragukan. Dalam hadis di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan 3 hal yang meragukan ketika berburu,

    Anjing buruan makan sebagian hewan yg diburu. Ini menjadi haram, karena berarti dia berburu untuk dimakan sendiri dan bukan untuk tuannya.
    Jika ada anjing liar yang turut memburu binatang buruan itu, kemudian mereka bisa menangkap buruan itu. Ini menjadi haram, karena tidak jelas mana yang membunuh hewan buruan itu. Di sana ada kemungkinan, anjing liar itu yg membunuhnya. Padahal dia lepas tanpa basmalah.
    Ketika hewan yang dipanah jatuh ke air, lalu mati. Ini menjadi haram. Karena kita tidak tahu, apakah dia mati disebabkan luka panah atau mati karena tenggelam.

Ibnul Qoyim menjelaskan,

لما كان الأصل في الذبائح التحريم ، وشك هل وجد الشرط المبيح أم لا ، بقي الصيد على أصله في التحريم

Mengingat hukum asal dalam sembelihan adalah haram, dan diragukan apakah memenuhi syarat sembelihan yang benar ataukah tidak, maka binatang buruan kembali kepada hukum asalnya, yaitu haram. (I’lamul Muwaqqi’in, 1/340).

A
pa acuan untuk memahami bahwa daging ini halal?


Apakah harus sampai taraf yakin? Ataukah cukup dengan dugaan kuat dan indikator lahiriyah saja?

Sebagai ilustrasi,

Ketika kita mendapatkan sekerat daging ayam untuk dimakan. Ada 2 pertanyaan di sana:

Apakah kita harus yakin 100% bahwa daging ini dari ayam yang disembelih secara syar’i?
Ataukah cukup dengan melihat indikator lahiriyah sehingga kita memiliki dugaan kuat ini halal?

Jika jawabannya: harus yakin 100%, maka kita tidak boleh mengkonsumsi daging ayam itu, sampai kita tahu siapa yang menyembelih, kemudian kita kepadanya, bagaimana cara dia menyembelih. Sehingga kita bisa yakin, ini daging disembelih secara syar’i.

Kita akan simak beberapa dalil terkait masalah ini, sehingga kita bisa lihat, apakah harus sampai derajat yakin atau cukup melihat indikator lahir.

Pertama, hadis dari A’isyah Radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – “سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ ” قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ

“Ada beberapa orang yang bertanya, “Ya Rasulullah, ada orang yang memberikan daging kepada kami. Sementara kami tidak tahu, apakah ketika dia menyembelih membaca basmalah ataukah tidak?”

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Baca basmalah dan silahkan makan.”

Kata A’isyah: “Mereka baru saja masuk islam.” (HR. Bukhari 2057)

Perintah untuk membaca basmalah pada hadis di atas adalah membaca basmalah ketika makan. Bukan membaca basmalah dalam rangka menghalalkan daging itu. Tentu bacaan basmalah setelah hewan disembelih, tidak memberi pengaruh apapun.

Dalam hadis ini, acuan halal haram sembelihan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi konsumen adalah dengan melihat agama yang menyembelih. Selama dia muslim, sembelihannya halal. Dan kita tidak diperintahkan untuk inspeksi serta menanyakan bagaimana cara dia menyembelih.

Di situlah arti penting dari catatan yang diberikan A’isyah di akhir hadis: “Mereka baru saja masuk islam.”

Sahabat ini menanyakan apakah daging ini halal atau haram, karena yang menyembelih baru masuk islam. Yang bisa jadi, karena kebiasaan lamanya, dia akan menyembelih dengan menyebut nama berhala mereka. Namun dugaan ini tidak berlaku, dan dianggap sebagai kemungkinan lemah. Karena acuannya dikembalikan kepada agama yang menyembelih. Dan sembelihan setiap muslim dianggap sah.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan,

ويستفاد منه أن كل ما يوجد في أسواق المسلمين محمول على الصحة ، وكذا ما ذبحه أعراب المسلمين ؛ لأن الغالب أنهم عرفوا التسمية ، وبهذا الأخير جزم ابن عبد البر فقال : فيه أن ما ذبحه المسلم يؤكل ويحمل على أنه سمَّى ؛ لأن المسلم لا يظن به في كل شيء إلا الخير ، حتى يتبين خلاف ذلك

Disimpulkan dari hadis ini, bahwa daging yang beredar di pasar kaum muslimin dipahami sebagai daging yang sah (sembelihannya). Demikian pula hewan yang disembelih kaum muslimin baduwi pedalaman. Karena umumnya, mereka paham tentang tasmiyah (membaca basmalah ketika menyembelih). Keterangan ini yang ditegaskan Ibnu Abdil Bar. Beliau menyatakan, bahwa apa yang disembelih kaum muslimin boleh langsung dimakan dan diyakini dia membaca basmalah ketika menyembelih. Karena tidak boleh memberikan persangkaan kepada seorang muslim kecuali yang baik. Sampai kita mendapatkan bukti sebaliknya. (Fathul Bari, 9/635).

Bahkan Ibnul Qoyim menyebutkan bahwa ulama sepakat, boleh jual beli daging tanpa harus bertanya-tanya tentang jaminan kehalalannya. Beliau mengatakan,

وأجمعوا على جواز شراء اللحمان والأطعمة والثياب وغيرها من غير سؤال عن أسباب حلها … بل هو اكتفاء بقبول قول الذابح والبائع … حتى لو كان الذابح والبائع يهوديا أو نصرانيا أو فاجرا اكتفينا بقوله في ذلك ولم نسأله عن أسباب الحل
Ulama sepakat bolehnya membeli daging, makanan, pakaian, atau yang lainnya, tanpa harus mempertanyakan jaminan kehalalannya. Bahkan cukup dengan menerima keterangan penyembelih dan penjual. Sekalipun yang menyembelih beragama yahudi, nasrani, atau orang fasik, kita hanya cukup berdasarkan keterangan darinya. dan tidak perlu mempertanyakan jaminan kehalalannya. (I’lam al-Muwaqqi’in, 2/255).

Ketiga, khusus bagi anda yang pernah menyaksikan langsung cara penyembelihan yang tidak syar’i atau anda memiliki bukti yang sangat jelas bahwa penyembelihannya tidak syar’i, maka anda tidak boleh mengkonsumsinya.

Beberapa laporan yang sampai kepada kami ada tempat pemotongan ayam yang sama sekali tidak membaca basmalah ketika menyembelih. 

Ada juga yang melihat, ada pemotong yang menyembelih puluhan ayam sambil bernyanyi, mengikuti irama lagu yang ada di radio.

Ada juga yang melihat dia memotong ayam dengan hanya ditusuk menggunakan sujen (tusuk sate), sehingga tenggorokan dan uratnya tidak putus.

Atau pemotong hanya melukai sedikit bagian leher kemudian ayam langsung dilempar ke air mendidih. Sehingga bisa dipastikan dia mati karena direbus

Semua ini bukti bahwa ayam ini mati tanpa disembelih secara syar’i


Sebaliknya, bagi anda yang tidak mendapatkan bukti itu, maka halal bagi anda untuk mengkonsumsi daging ayam tersebut.