Banyak orang yang berakhlaq mulia menasihatkan: “Jadilah seorang yang berperasaan.”
Tentunya nasihat ini umum untuk siap saja. Yang pasti, nasihat tersebut
tidaklah diserukan melainkan karena ia akan benar-benar membuahkan
kemuliaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa berperasaan yang
merupakan akhlaq mulia itu seharusnya juga dimiliki oleh setiap pasutri
guna menggapai kemuliaan serupa.
Sementara yang sering kita jumpai, banyak keluarga yang meninggalkan perasaannya, kalau bukan perasaan itu yang telah meninggalkan mereka, dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Akibatnya, tidak henti-hentinya gelombang dan badai mengguncang biduk yang telah mereka rakit bersama.
Antara Perasaan, Hak, dan Kewajiban
Di antara beberapa keadaan yang menuntut setiap pasutri harus
berperasaan adalah tatkala menunaikan kewajiban juga menuntut hak dari
pasangannya. Bahkan kedua keadaan inilah yang sangat kentara
menggambarkan ada atau tidaknya perasaan setiap pasutri.
Perhatikan apa yang dilakukan oleh sebagian suami terhadap
istri-istri mereka ketika menuntut hak-hak dengan segala cara bahkan
pada setiap keadaan, sedangkan pada saat yang sama mereka justru
melupakan kewajiban sebagai para suami.
Demikian juga, ternyata banyak istri yang enggan melakukan ini atau itu buat suami mereka, padahal seandainya ia melakukannya maka sungguh ia telah berbuat sesuatu yang terbaik bagi suami dan baik pula bagi dirinya. Coba perhatikan, mengapa ia enggan melakukan kebaikan hanya dengan alasan yang berkutat antara hak dan kewajiban? Kuncinya ialah ada dan tidak adanya perasaan pasutri itu sendiri.
Demikian juga, ternyata banyak istri yang enggan melakukan ini atau itu buat suami mereka, padahal seandainya ia melakukannya maka sungguh ia telah berbuat sesuatu yang terbaik bagi suami dan baik pula bagi dirinya. Coba perhatikan, mengapa ia enggan melakukan kebaikan hanya dengan alasan yang berkutat antara hak dan kewajiban? Kuncinya ialah ada dan tidak adanya perasaan pasutri itu sendiri.
Bayangkan, bagaimana seandainya seorang suami memandang istrinya
hanya sebatas tambatan dalam memenuhi hasratnya belaka, apa yang akan
menimpa si istri? Sungguh ia akan mendapati kekecewaan yang makin
membuatnya terhina dan ‘makan hati’ seumur hidupnya.
Bayangkan juga seandainya seorang istri menilai suaminya sekadar sebagai orang kepercayaan yang akan memberikan segala yang ia inginkan. Di sisi lain, suami tidak memiliki kuasa sedikitpun atas istrinya, bencana apa yang akan menimpa suami?
Sungguh ia akan menjadi sosok yang dibanggakan oleh istri tetapi sejatinya kebanggaan yang diperolehnya justru akan membuatnya ‘mati berdiri’. Kalau kita mau jujur, tentu kita akan katakan bahwa salah satu penyebabnya adalah hilangnya perasaan.
Bayangkan juga seandainya seorang istri menilai suaminya sekadar sebagai orang kepercayaan yang akan memberikan segala yang ia inginkan. Di sisi lain, suami tidak memiliki kuasa sedikitpun atas istrinya, bencana apa yang akan menimpa suami?
Sungguh ia akan menjadi sosok yang dibanggakan oleh istri tetapi sejatinya kebanggaan yang diperolehnya justru akan membuatnya ‘mati berdiri’. Kalau kita mau jujur, tentu kita akan katakan bahwa salah satu penyebabnya adalah hilangnya perasaan.
Kiranya, tiada seorang pun dari para istri yang memungkiri bahwa
suaminya memiliki hak yang harus ia tunaikan. Demikian juga, tiada
seorang pun dari para suami yang mengingkari bahwa hak-hak istri yang
mereka pikul adalah sebuah tanggung jawab. Kalaupun ada seorang istri
atau seorang suami yang mengingkari hak-hak pasangannya maka itu
bukanlah disebabkan hilangnya perasaan, melainkan suatu kejahilan dan
kedunguan. Sehingga sungguh sangat aneh, pasutri yang tidak jahil tidak
pula dungu tetapi perasaannya telah hilang entah ke mana.
Meluruskan Pemahaman dan Sikap
Masalah hilangnya perasaan dari pasutri terhadap pasangannya bisa
jadi disebabkan oleh kesalahan mereka dalam memandang makna hak yang
telah Allah berikan kepada diri mereka masing-masing sehingga berakibat
diselewengkannya hak-hak tersebut. Untuk memahami masalah ini, marilah
kita diskusikan sejenak firman Allah berikut:
(QS. al-Baqoroh [2]: 228)
Perhatikanlah ayat di atas baik-baik, lalu tanyakan pada diri anda,
apakah ayat tersebut hanya mengakui hak-hak suami atas istrinya saja
sehingga ia boleh menuntutnya dengan cara bagaimanapun dari para istri
mereka? Bila para suami mau jujur maka tentu mereka akan menjawab:
“Tidak! Sekali-kali tidak!”
Atau apakah ayat tersebut hanya peringatan bagi para suami akan
kemuliaan hak-hak istrinya di atas segalanya yang istri boleh
menuntutnya dengan cara bagaimanapun? Begitu juga kalau para istri mau
jujur tentu ia juga akan menjawab:
“Tidak benar! Pemahaman seperti itu salah!”
“Tidak benar! Pemahaman seperti itu salah!”
Kita harus memahami bahwa ayat di atas berisi ketetapan dan pengakuan
serta pengukuhan hak-hak pasutri yang sama antara keduanya, tiada
bedanya. Selain itu, Alloh azza wajalla hendak menjelaskan bagaimana
seharusnya para pasutri menunaikan kewajibannya dan menuntut hak-haknya.
Dan yang pasti, Allah subhanahu wata’ala hanya menghendaki keserasian
antara keduanya.
Allah menghendaki apabila seorang suami menuntut istri untuk
menunaikan kewajibannya maka ia pun harus memberikan hak istrinya.
Demikian juga, apabila istri meminta hak-haknya dari suaminya maka
sesungguhnya pada saat yang sama ia juga harus memberikan hak-hak
suaminya. Dalam hal menuntut hak dan menunaikan kewajiban ini Alloh subhanahu wata’ala tetap membatasi dengan bingkai bil-ma’ruf, yaitu dengan cara sebaik-baiknya, dengan saling menjaga perasaan dan tetap di atas dasar kasih sayang.
Lalu bagaimana para suami tanpa melihat kondisi istri—apakah telah terpenuhi hak-haknya ataukah belum—kemudian ia berlenggang begitu saja setelah hasrat mereka terpenuhi? Bagaimana pula para istri mempergauli suaminya laksana seorang ratu yang semaunya meminta ini dan itu dari para punggawanya? Ke manakah gerangan hilangnya perasaan mereka setelah mengetahui bahwa hak-hak mereka sama? Di mana bingkai ma’ruf yang Alloh tetapkan? Ke mana perasaan dan kasih sayang itu pergi?
Tetap Berikan Perasaanmu
Apabila para suami memahami bahwa Alloh azza wajalla hanya melebihkan
hak mereka satu tingkatan di atas hak-hak istri, sebagaimana yang Alloh
azza wajalla firmankan dalam kelanjutan ayat di atas:
…. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya, dan Alloh Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. al-Baqoroh [2]: 228)
Maka hendaklah mereka memahami bahwa tingkatan kelebihan tersebut
adalah kepemimpinan mereka atas diri istri-istri mereka, sebagaimana
yang Alloh tegaskan dalam ayat-Nya:
(QS. an-Nisa’ [4]: 34)
|
Beberapa peraturan hidup bersuami-isteri |
[289]. Maksudnya: Tidak berlaku curang serta
memelihara rahasia dan harta suaminya. [290]. Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik. [291]. Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. [292]. Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. |
Kalau kita tilik kembali, maka kita akan tahu bahwa satu tingkatan
kelebihan berupa kepemimpinan itu sesungguhnya telah mereka terima dan
mereka miliki. Bahkan sejak awal ia mengikat janji yang agung, mitsaqon gholizhon,
saat ia menyatakan telah menerima pernikahan dengan istrinya maka sejak
itu berarti kelebihan itu telah ia terima. Namun yang harus dipahami
bersama, bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan oleh Allah azza wajalla
kepada para suami itu sama sekali tidak untuk menjadikannya sebagai
pemimpin yang jelek lagi kasar.
Namun Allah subhanahu wata’ala hanya menghendaki sikap arif, adil, dan bijaksana suami dalam memimpin istri-istri mereka. Allah azza wajalla tidak menghendaki suami menjadi seorang pemimpin yang hilang perasaan serta kasih sayangnya. Dari sini para istri harus pula memahami kedudukan suami atas dirinya sebagai seorang pemimpin meski mereka telah tahu bahwa hak-hak antara mereka sama. Dengan demikian, mereka tidak tersalah dalam mempergauli suaminya yang sekaligus pemimpinnya.
Namun Allah subhanahu wata’ala hanya menghendaki sikap arif, adil, dan bijaksana suami dalam memimpin istri-istri mereka. Allah azza wajalla tidak menghendaki suami menjadi seorang pemimpin yang hilang perasaan serta kasih sayangnya. Dari sini para istri harus pula memahami kedudukan suami atas dirinya sebagai seorang pemimpin meski mereka telah tahu bahwa hak-hak antara mereka sama. Dengan demikian, mereka tidak tersalah dalam mempergauli suaminya yang sekaligus pemimpinnya.
0 komentar:
Post a Comment