THIS TOPIC BOX Ketik Topic Disini Contoh DZIKIR atau MAKAN

Translate

Saturday 21 November 2015

Apa Itu Hadiah Doa Bagi Orang Yang sudah Meninggal 3

C. Dalam Madzab Imam Syafei

  • Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafi'i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
  • Disebutkan dalam al-Majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: "Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
  • Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
  • Dalam menanggapai Qaul Masyhur tersebut pengarang kitab Fathul Wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-Anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
  • "Apa yang dikatakan sebagai Qaul yang Masyhur dalam Madzab Syafi'i itu dibawa atas pengertian : "Jika al-Qur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
  • Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-Jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
  • “Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Ahmad bin Qasim al-Ubadi dalam Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
  • “Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
  • Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
  • 1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
  • 2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
  • Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).

Friday 20 November 2015

Meninjau kembali istilah "Islam Moderat"

Beberapa tahun belakangan ini telah muncul berbagai istilah-itilah serapan dari barat yang kemudian di sandingan dengan kata Islam. Tentu perkawinan kata tersebut sudah pasti  mempunyai misi dan visi yang terselubung dimana jika tidak dilihat dan diteliti secara cermat akan menimbulkan berbagai problem yang mendera kaum muslimin.


Salah satu contoh kongkrit dalam masalah ini adalah, munculnya golongan yang menamakan diri mereka sebagai “Jaringan Islam Liberal”. Di tinjau dari segi terminologi, maka perkawinan kata yang menjadikan satu istilah khusus seperti Islam Liberal ini nampak sekali terlihat konsep dari masing-masing kata yang saling membentur sehingga menghasilkan sesuatu yang confuse (membingungkan). Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang sudah mempunyai aturan yang terikat dan jelas harus diliberalkan atau di buat sedemikian bebas sehingga Islam tidak lagi bersifat sebagai agama yang mengikat namun agama yang bebas yang sesuai dengan kondisi zaman.

Begitu juga dengan istilah yang tak kalah marak dikalangan cendekiawan muslim, yaitu “Islam Moderat”. Sebuah istilah yang sering disematkan kepada orang-orang yang tidak kaku dalam memahami Islam, mau menghadiri perayaan hari raya agama lain, memimpin do’a lintas agama, modern dan yang lain sebagainya. Maka dalam kesempatan ini artikel ini bertujuan untuk menaggapi artikel berjudul  Islam “Moderat”  ditulis oleh aktivis liberal Ulil Abshar Abdalla yang di muat dalam situs www.islamlib.com.

Surat Al-Baqarah ayat 143, menjadi sebuah ayat yang favorit bagi kalangan liberalis tentang legitimasi terhadap istilah “Islam Moderat”, dan istilah ini di pertentangkan juga dengan istilah lain yaitu “Islam Radikal”. Sehingga pada saat ini, Islam seakan-akan terbagi menjadi dua, antara yang moderat dengan yang radikal.

Ulil Abshar Abdalla, salah seorang aktivis liberal, memberikan pengertian Islam Moderat dengan menukil ucapan dari Tawfik Hamid, “Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).” Dalam pandangan ulil pun, Islam Moderat dalam bahasa arab di istilahkan dengan “Al-Islam Al-Wasat.” Atau moderasi Islam yang kemudian ia ungkapkan dengan frasa “Wasatiyyat Al-Islam.“

Sehingga, secara eksplisit bisa disimpulkan juga, bahwa pengertian dari “Islam Radikal” yang menjadi lawan dari Islam Moderat adalah “Islam yang mendukung secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.“Istilah ini, sebenarnya secara tidak langsung telah mendiskreditkan kaum muslimin yang memperjuangkan hukum-hukum syari’at agar bisa di tegakkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara umum dalam bingkai yang lebih luas.

Tentu hukum-hukum Islam yang menjadi sorotan kaum Liberal dimana mereka anggap keras dan sarat dengan diskriminasidapat di lihat dari sisi yang pertama, yaitu dari aspekpidana islam. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai nishab, hukum qishash bagi pembunuh, hukum mati terhadap orang Islam yang murtad dan lain sebagainya.

Adapun sisi yang kedua, yaitu dalam aspek hukum perdata Islam. Seperti wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, dalam pembagian harta waris wanita hanya mendapatkan setengah dari laki-laki, wajibnya berjilbab bagi wanita yang sudah baligh, atau bolehnya poligami bagi laki-laki dan yang lainnya. Dan yang terakhir, dari sisi yang ketiga adalah masalah hukum jihad fi sabilillah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang sering mereka sebut dengan istilah “perang suci”.

Jika memang yang di maksud dengan hukum yang keras dan diskriminatif adalah seperti yang dicontohkan di atas. Secara tidak langsung, tentu hal tersebut sudah masuk kepada ranah oto-kritik terhadap syari’at Islam. Sehingga banyak syari’at yang harus di moderatkan, di rubah secara totalitas karena sudah tidak relevan lagi pada zaman modern.

Lalu ujung-ujungnya, maka yang disuarakan kembali adalah meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, maka semua itu harus di deskonstruksi, dan disesuaikan lagi dengan hukum tersebut bersifat dinamis.

Sebenarnya, kalau memang ingin merujuk secara jujur kepada definisi seperti yang telah diungkapkan oleh Tawfik Hamid di atas, tentu Rasulullah saw pun menjadi sorotan utama sebagi seorang Nabi yang telah mengajarkan kekerasan dan tindak diskriminasi kepada umat Islam. Karena beliau juga telah menerapkan syari’at Islam secara sempurna baik pidana, perdata, jihad atau yang lainnya. Lalu, apakah masuk kepada logika juga, bahwa Tawfiq atau Ulil itu Islam yang moderat, sedangkan Rasulullah dan orang yang mengikutinya adalah Islam yang radikal.

Ataupun, jika mereka mempunyai pendapat bahwa syari’at-syari’at di atas hanya cocok pada zaman Rasulullah saja, bahwa hukum-hukum Islam yang bersifat keras tersebut relevan untuk zaman dahulu dan tidak relevan untuk zaman sekarang, maka akan juga timbul pertanyaan kalau hukum-hukum yang di anggap keras tersebut hanya cocok untuk zaman dahulu saja, mengapa Rasulullah saw menolak untuk membunuh orang-orang munafik yang terlalu sering memfitnah beliau? Bukankah pertimbangan beliau adalah, tidak menginginkan orang-orang kafir mempunyai keyakinan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri? Tentu keras atau tidaknya syari’at Islam itu tidak bisa di nilai dari perasaan satu atau sekelompok manusia saja, tetapi lebih kepada efektifitas serta maslahat yang terdapat dalam syari’at Islam yang di pandang keras tersebut.

Kembali kepada pengistilahan “Al-Islam Al-Wasath” (Islam Moderat) yang telah di ungkapkan oleh Ulil Abshar, bahwasanya konsep tersebut dia kaitkan dengan ayat 143 dari surat Al-Baqarah. Yang dia terjemahkan secara lengkap “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Sebenarnya, Ulil pun sudah mengakui bahwasanya yang di maksud dengan moderat dalam Islam adalah seperti yang dia nukilkan dari syaikh Muhammad Abduh, yaitu sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Tentu sikap dari pertengahan tersebut masuk juga kepada rasa adil dalam menyingkapi perbedaan yang ada.

Tetapi ketika kita mencermati lagi pernyataan tentang definisi dari moderat yaitu sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.Tentu pengertian tersebut sudah mendorong setiap pembacanya untuk diajak berkeyakinan ekstrem dalam menolak syari’at Islam yang sudah baku.

Karena sikap menolak adalah bukan lagi sifat yang menengahi dua kutub berbeda, akan tetapi sudah masuk kepada salah satu kutub yang malah harus di pertengahi lagi. Maka dari itu, hal ini sangat bertentangan dengan konsep ‘adil dalam Islam, karena para ulama’ sudah memahami tentang sikap ‘adil sebagai sebuah sikap yang menempatkan sesuatu sesuai kepada tempatnya. Sehingga bisa juga difahami bahwa Islam Moderat adalah Islam yang tidak bersifat ekstrem baik itu dalam hal rasional ataupun tekstual.

Kemudian akan terjadi juga pertanyaan, sekarang kelompok manakah yang paling moderat? Bukankah setiap orang Islam bahkan yang menyimpang itu pun mengaku sebagai penganut Islam yang moderat?.

Menurut penulis sendiri, jawaban yang sangat pas untuk menjawab pertanyaan diatas adalah bahwa tentu memahami Islam yang adil sesuai dengan surat Al-Baqarah di atas adalah bukan tentang pengakuan atau klaim bahwa saya lah Islamnya yang paling moderat, tetapi lebih kepada isi dari ajaran Islam yang adil di antara ajaran yang terdapat dalam agama lain.

Oleh karenanya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy (W. 1955 M), menjelaskan tentang ummatan wasathan adalah sebagai umat yang adil dan terpilih. Allah Ta’ala menjadikan umat ini pertengahan (wasath) di dalam setiap perkara agama, seperti dalam masalah kenabian, antara sifat berlebih-lebihan dalam mengagungkan mereka seperti kaum Nashrani, dengan sikap pembangkangan seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Ataupun seperti masalah aqidah, ibadah, muamalah ataupun yang lainnya. (Taysir Karimir Rahmaan Fie Tafsiiri Kalaamil Mannaan)



Hal itu pun jika memang kata-kata “Wasath” di anggap mewakili penerjemahan kata “Moderat” ke dalam bahasa arab. Padahal, jika di teliti secara mendalam sebagaimana yang telah di jelaskan tentang makna dari wasath yang berarti adil dan terbaik, maka makna terebut tidaklah dijumpai dalam pengertian moderat yang mempunyai pengertian yang hanya sebatas berada dalam posisi pertengahan saja. Karena sama sekali tidak mencakup pengertian dari makna adil yang terkandung dalam kata wasath, maka penerjemahan bahasa arab kata moderat kepada kata wasath jelas tidak cocok, seperti arabisasi kata sekuler menjadi ‘ilmaniyah.

Maka, sikap ‘adil dan wasath dalam Islam pun tidak perlu di gandeng-gandengkan lagi dalam sebuah istilah, apalagi berupaya untuk melakukan pendikotomian umat Islam, karena secara substansi kedua sifat tersebut sudah ada dalam diri ajaran Islam sehingga tak perlu lagi Allah Ta’ala atau Rasul-Nya menerangkan dan menyebutkan bahwa Islam itu ada yang moderat (wasath) atau ada yang keras (radikal).

Jikalau disebutkan bahwa karakter ekstrimitas yang semula melekat pada golongan luar Islam sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh para mufassir klasik itu ternyata dijumpai dalam umat islam sendiri, maka pasti yang harus diluruskan kembali adalah umat yang terjerembab kepada sikap ekstrem tersebut, bukan kepada ajaran-ajaran yang ada dalam Islam.

Sebagaimana juga jika didapati sekelompok orang yang bersikap ekstrem dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 62 kemudian menyimpulkan bahwa Islam telah mengajarkan faham Pluralisme agama, tentu ini adalah tafsir liberal yang sangat ekstrem yang mengajak manusia untuk mempunyai pemahaman bahwa semua agama adalah benar, maka yang diluruskan bukanlah kepada ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil tersebut, akan tetapi harus kepada orang yang telah menafsirkan ayat itu secara menyimpang. Karena yang salah bukanlah ayatnya, tetapi orang yang menafsirkannya. Allahu a’alamu bish shawab
Beberapa tahun belakangan ini telah muncul berbagai istilah-itilah serapan dari barat yang kemudian di sandingan dengan kata Islam. Tentu perkawinan kata tersebut sudah pasti  mempunyai misi dan visi yang terselubung dimana jika tidak dilihat dan diteliti secara cermat akan menimbulkan berbagai problem yang mendera kaum muslimin.
Salah satu contoh kongkrit dalam masalah ini adalah, munculnya golongan yang menamakan diri mereka sebagai “Jaringan Islam Liberal”. Di tinjau dari segi terminologi, maka perkawinan kata yang menjadikan satu istilah khusus seperti Islam Liberal ini nampak sekali terlihat konsep dari masing-masing kata yang saling membentur sehingga menghasilkan sesuatu yang confuse (membingungkan). Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang sudah mempunyai aturan yang terikat dan jelas harus diliberalkan atau di buat sedemikian bebas sehingga Islam tidak lagi bersifat sebagai agama yang mengikat namun agama yang bebas yang sesuai dengan kondisi zaman.
Begitu juga dengan istilah yang tak kalah marak dikalangan cendekiawan muslim, yaitu “Islam Moderat”. Sebuah istilah yang sering disematkan kepada orang-orang yang tidak kaku dalam memahami Islam, mau menghadiri perayaan hari raya agama lain, memimpin do’a lintas agama, modern dan yang lain sebagainya. Maka dalam kesempatan ini artikel ini bertujuan untuk menaggapi artikel berjudul  Islam “Moderat”  ditulis oleh aktivis liberal Ulil Abshar Abdalla yang di muat dalam situs www.islamlib.com.
Surat Al-Baqarah ayat 143, menjadi sebuah ayat yang favorit bagi kalangan liberalis tentang legitimasi terhadap istilah “Islam Moderat”, dan istilah ini di pertentangkan juga dengan istilah lain yaitu “Islam Radikal”. Sehingga pada saat ini, Islam seakan-akan terbagi menjadi dua, antara yang moderat dengan yang radikal.
Ulil Abshar Abdalla, salah seorang aktivis liberal, memberikan pengertian Islam Moderat dengan menukil ucapan dari Tawfik Hamid, “Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).” Dalam pandangan ulil pun, Islam Moderat dalam bahasa arab di istilahkan dengan “Al-Islam Al-Wasat.” Atau moderasi Islam yang kemudian ia ungkapkan dengan frasa “Wasatiyyat Al-Islam.
Sehingga, secara eksplisit bisa disimpulkan juga, bahwa pengertian dari “Islam Radikal” yang menjadi lawan dari Islam Moderat adalah “Islam yang mendukung secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.“Istilah ini, sebenarnya secara tidak langsung telah mendiskreditkan kaum muslimin yang memperjuangkan hukum-hukum syari’at agar bisa di tegakkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara umum dalam bingkai yang lebih luas.
Tentu hukum-hukum Islam yang menjadi sorotan kaum Liberal dimana mereka anggap keras dan sarat dengan diskriminasidapat di lihat dari sisi yang pertama, yaitu dari aspekpidana islam. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai nishab, hukum qishash bagi pembunuh, hukum mati terhadap orang Islam yang murtad dan lain sebagainya.
Adapun sisi yang kedua, yaitu dalam aspek hukum perdata Islam. Seperti wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, dalam pembagian harta waris wanita hanya mendapatkan setengah dari laki-laki, wajibnya berjilbab bagi wanita yang sudah baligh, atau bolehnya poligami bagi laki-laki dan yang lainnya. Dan yang terakhir, dari sisi yang ketiga adalah masalah hukum jihad fi sabilillah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang sering mereka sebut dengan istilah “perang suci”.
Jika memang yang di maksud dengan hukum yang keras dan diskriminatif adalah seperti yang dicontohkan di atas. Secara tidak langsung, tentu hal tersebut sudah masuk kepada ranah oto-kritik terhadap syari’at Islam. Sehingga banyak syari’at yang harus di moderatkan, di rubah secara totalitas karena sudah tidak relevan lagi pada zaman modern.
Lalu ujung-ujungnya, maka yang disuarakan kembali adalah meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, maka semua itu harus di deskonstruksi, dan disesuaikan lagi dengan hukum tersebut bersifat dinamis.
Sebenarnya, kalau memang ingin merujuk secara jujur kepada definisi seperti yang telah diungkapkan oleh Tawfik Hamid di atas, tentu Rasulullah saw pun menjadi sorotan utama sebagi seorang Nabi yang telah mengajarkan kekerasan dan tindak diskriminasi kepada umat Islam. Karena beliau juga telah menerapkan syari’at Islam secara sempurna baik pidana, perdata, jihad atau yang lainnya. Lalu, apakah masuk kepada logika juga, bahwa Tawfiq atau Ulil itu Islam yang moderat, sedangkan Rasulullah dan orang yang mengikutinya adalah Islam yang radikal.
Ataupun, jika mereka mempunyai pendapat bahwa syari’at-syari’at di atas hanya cocok pada zaman Rasulullah saja, bahwa hukum-hukum Islam yang bersifat keras tersebut relevan untuk zaman dahulu dan tidak relevan untuk zaman sekarang, maka akan juga timbul pertanyaan kalau hukum-hukum yang di anggap keras tersebut hanya cocok untuk zaman dahulu saja, mengapa Rasulullah saw menolak untuk membunuh orang-orang munafik yang terlalu sering memfitnah beliau? Bukankah pertimbangan beliau adalah, tidak menginginkan orang-orang kafir mempunyai keyakinan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri? Tentu keras atau tidaknya syari’at Islam itu tidak bisa di nilai dari perasaan satu atau sekelompok manusia saja, tetapi lebih kepada efektifitas serta maslahat yang terdapat dalam syari’at Islam yang di pandang keras tersebut.
Kembali kepada pengistilahan “Al-Islam Al-Wasath” (Islam Moderat) yang telah di ungkapkan oleh Ulil Abshar, bahwasanya konsep tersebut dia kaitkan dengan ayat 143 dari surat Al-Baqarah. Yang dia terjemahkan secara lengkap “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Sebenarnya, Ulil pun sudah mengakui bahwasanya yang di maksud dengan moderat dalam Islam adalah seperti yang dia nukilkan dari syaikh Muhammad Abduh, yaitu sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Tentu sikap dari pertengahan tersebut masuk juga kepada rasa adil dalam menyingkapi perbedaan yang ada.
Tetapi ketika kita mencermati lagi pernyataan tentang definisi dari moderat yaitu sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.Tentu pengertian tersebut sudah mendorong setiap pembacanya untuk diajak berkeyakinan ekstrem dalam menolak syari’at Islam yang sudah baku.
Karena sikap menolak adalah bukan lagi sifat yang menengahi dua kutub berbeda, akan tetapi sudah masuk kepada salah satu kutub yang malah harus di pertengahi lagi. Maka dari itu, hal ini sangat bertentangan dengan konsep ‘adil dalam Islam, karena para ulama’ sudah memahami tentang sikap ‘adil sebagai sebuah sikap yang menempatkan sesuatu sesuai kepada tempatnya. Sehingga bisa juga difahami bahwa Islam Moderat adalah Islam yang tidak bersifat ekstrem baik itu dalam hal rasional ataupun tekstual.
Kemudian akan terjadi juga pertanyaan, sekarang kelompok manakah yang paling moderat? Bukankah setiap orang Islam bahkan yang menyimpang itu pun mengaku sebagai penganut Islam yang moderat?.
Menurut penulis sendiri, jawaban yang sangat pas untuk menjawab pertanyaan diatas adalah bahwa tentu memahami Islam yang adil sesuai dengan surat Al-Baqarah di atas adalah bukan tentang pengakuan atau klaim bahwa saya lah Islamnya yang paling moderat, tetapi lebih kepada isi dari ajaran Islam yang adil di antara ajaran yang terdapat dalam agama lain.
Oleh karenanya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy (W. 1955 M), menjelaskan tentang ummatan wasathan adalah sebagai umat yang adil dan terpilih. Allah Ta’ala menjadikan umat ini pertengahan (wasath) di dalam setiap perkara agama, seperti dalam masalah kenabian, antara sifat berlebih-lebihan dalam mengagungkan mereka seperti kaum Nashrani, dengan sikap pembangkangan seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Ataupun seperti masalah aqidah, ibadah, muamalah ataupun yang lainnya. (Taysir Karimir Rahmaan Fie Tafsiiri Kalaamil Mannaan)
Hal itu pun jika memang kata-kata “Wasath” di anggap mewakili penerjemahan kata “Moderat” ke dalam bahasa arab. Padahal, jika di teliti secara mendalam sebagaimana yang telah di jelaskan tentang makna dari wasath yang berarti adil dan terbaik, maka makna terebut tidaklah dijumpai dalam pengertian moderat yang mempunyai pengertian yang hanya sebatas berada dalam posisi pertengahan saja. Karena sama sekali tidak mencakup pengertian dari makna adil yang terkandung dalam kata wasath, maka penerjemahan bahasa arab kata moderat kepada kata wasath jelas tidak cocok, seperti arabisasi kata sekuler menjadi ‘ilmaniyah.
Maka, sikap ‘adil dan wasath dalam Islam pun tidak perlu di gandeng-gandengkan lagi dalam sebuah istilah, apalagi berupaya untuk melakukan pendikotomian umat Islam, karena secara substansi kedua sifat tersebut sudah ada dalam diri ajaran Islam sehingga tak perlu lagi Allah Ta’ala atau Rasul-Nya menerangkan dan menyebutkan bahwa Islam itu ada yang moderat (wasath) atau ada yang keras (radikal).
Jikalau disebutkan bahwa karakter ekstrimitas yang semula melekat pada golongan luar Islam sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh para mufassir klasik itu ternyata dijumpai dalam umat islam sendiri, maka pasti yang harus diluruskan kembali adalah umat yang terjerembab kepada sikap ekstrem tersebut, bukan kepada ajaran-ajaran yang ada dalam Islam.
Sebagaimana juga jika didapati sekelompok orang yang bersikap ekstrem dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 62 kemudian menyimpulkan bahwa Islam telah mengajarkan faham Pluralisme agama, tentu ini adalah tafsir liberal yang sangat ekstrem yang mengajak manusia untuk mempunyai pemahaman bahwa semua agama adalah benar, maka yang diluruskan bukanlah kepada ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil tersebut, akan tetapi harus kepada orang yang telah menafsirkan ayat itu secara menyimpang. Karena yang salah bukanlah ayatnya, tetapi orang yang menafsirkannya. Allahu a’alamu bish shawab
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/02/25848-meninjau-kembali-istilah-islam-moderat.html#sthash.3Xzyo82X.dpuf
alah satu contoh kongkrit dalam masalah ini adalah, munculnya golongan yang menamakan diri mereka sebagai “Jaringan Islam Liberal”. Di tinjau dari segi terminologi, maka perkawinan kata yang menjadikan satu istilah khusus seperti Islam Liberal ini nampak sekali terlihat konsep dari masing-masing kata yang saling membentur sehingga menghasilkan sesuatu yang confuse (membingungkan). Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang sudah mempunyai aturan yang terikat dan jelas harus diliberalkan atau di buat sedemikian bebas sehingga Islam tidak lagi bersifat sebagai agama yang mengikat namun agama yang bebas yang sesuai dengan kondisi zaman.
Begitu juga dengan istilah yang tak kalah marak dikalangan cendekiawan muslim, yaitu “Islam Moderat”. Sebuah istilah yang sering disematkan kepada orang-orang yang tidak kaku dalam memahami Islam, mau menghadiri perayaan hari raya agama lain, memimpin do’a lintas agama, modern dan yang lain sebagainya. Maka dalam kesempatan ini artikel ini bertujuan untuk menaggapi artikel berjudul  Islam “Moderat”  ditulis oleh aktivis liberal Ulil Abshar Abdalla yang di muat dalam situs www.islamlib.com.
Surat Al-Baqarah ayat 143, menjadi sebuah ayat yang favorit bagi kalangan liberalis tentang legitimasi terhadap istilah “Islam Moderat”, dan istilah ini di pertentangkan juga dengan istilah lain yaitu “Islam Radikal”. Sehingga pada saat ini, Islam seakan-akan terbagi menjadi dua, antara yang moderat dengan yang radikal.
Ulil Abshar Abdalla, salah seorang aktivis liberal, memberikan pengertian Islam Moderat dengan menukil ucapan dari Tawfik Hamid, “Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).” Dalam pandangan ulil pun, Islam Moderat dalam bahasa arab di istilahkan dengan “Al-Islam Al-Wasat.” Atau moderasi Islam yang kemudian ia ungkapkan dengan frasa “Wasatiyyat Al-Islam.
Sehingga, secara eksplisit bisa disimpulkan juga, bahwa pengertian dari “Islam Radikal” yang menjadi lawan dari Islam Moderat adalah “Islam yang mendukung secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.“Istilah ini, sebenarnya secara tidak langsung telah mendiskreditkan kaum muslimin yang memperjuangkan hukum-hukum syari’at agar bisa di tegakkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara umum dalam bingkai yang lebih luas.
Tentu hukum-hukum Islam yang menjadi sorotan kaum Liberal dimana mereka anggap keras dan sarat dengan diskriminasidapat di lihat dari sisi yang pertama, yaitu dari aspekpidana islam. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai nishab, hukum qishash bagi pembunuh, hukum mati terhadap orang Islam yang murtad dan lain sebagainya.
Adapun sisi yang kedua, yaitu dalam aspek hukum perdata Islam. Seperti wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, dalam pembagian harta waris wanita hanya mendapatkan setengah dari laki-laki, wajibnya berjilbab bagi wanita yang sudah baligh, atau bolehnya poligami bagi laki-laki dan yang lainnya. Dan yang terakhir, dari sisi yang ketiga adalah masalah hukum jihad fi sabilillah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang sering mereka sebut dengan istilah “perang suci”.
Jika memang yang di maksud dengan hukum yang keras dan diskriminatif adalah seperti yang dicontohkan di atas. Secara tidak langsung, tentu hal tersebut sudah masuk kepada ranah oto-kritik terhadap syari’at Islam. Sehingga banyak syari’at yang harus di moderatkan, di rubah secara totalitas karena sudah tidak relevan lagi pada zaman modern.
Lalu ujung-ujungnya, maka yang disuarakan kembali adalah meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, maka semua itu harus di deskonstruksi, dan disesuaikan lagi dengan hukum tersebut bersifat dinamis.
Sebenarnya, kalau memang ingin merujuk secara jujur kepada definisi seperti yang telah diungkapkan oleh Tawfik Hamid di atas, tentu Rasulullah saw pun menjadi sorotan utama sebagi seorang Nabi yang telah mengajarkan kekerasan dan tindak diskriminasi kepada umat Islam. Karena beliau juga telah menerapkan syari’at Islam secara sempurna baik pidana, perdata, jihad atau yang lainnya. Lalu, apakah masuk kepada logika juga, bahwa Tawfiq atau Ulil itu Islam yang moderat, sedangkan Rasulullah dan orang yang mengikutinya adalah Islam yang radikal.
Ataupun, jika mereka mempunyai pendapat bahwa syari’at-syari’at di atas hanya cocok pada zaman Rasulullah saja, bahwa hukum-hukum Islam yang bersifat keras tersebut relevan untuk zaman dahulu dan tidak relevan untuk zaman sekarang, maka akan juga timbul pertanyaan kalau hukum-hukum yang di anggap keras tersebut hanya cocok untuk zaman dahulu saja, mengapa Rasulullah saw menolak untuk membunuh orang-orang munafik yang terlalu sering memfitnah beliau? Bukankah pertimbangan beliau adalah, tidak menginginkan orang-orang kafir mempunyai keyakinan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri? Tentu keras atau tidaknya syari’at Islam itu tidak bisa di nilai dari perasaan satu atau sekelompok manusia saja, tetapi lebih kepada efektifitas serta maslahat yang terdapat dalam syari’at Islam yang di pandang keras tersebut.
Kembali kepada pengistilahan “Al-Islam Al-Wasath” (Islam Moderat) yang telah di ungkapkan oleh Ulil Abshar, bahwasanya konsep tersebut dia kaitkan dengan ayat 143 dari surat Al-Baqarah. Yang dia terjemahkan secara lengkap “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Sebenarnya, Ulil pun sudah mengakui bahwasanya yang di maksud dengan moderat dalam Islam adalah seperti yang dia nukilkan dari syaikh Muhammad Abduh, yaitu sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Tentu sikap dari pertengahan tersebut masuk juga kepada rasa adil dalam menyingkapi perbedaan yang ada.
Tetapi ketika kita mencermati lagi pernyataan tentang definisi dari moderat yaitu sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.Tentu pengertian tersebut sudah mendorong setiap pembacanya untuk diajak berkeyakinan ekstrem dalam menolak syari’at Islam yang sudah baku.
Karena sikap menolak adalah bukan lagi sifat yang menengahi dua kutub berbeda, akan tetapi sudah masuk kepada salah satu kutub yang malah harus di pertengahi lagi. Maka dari itu, hal ini sangat bertentangan dengan konsep ‘adil dalam Islam, karena para ulama’ sudah memahami tentang sikap ‘adil sebagai sebuah sikap yang menempatkan sesuatu sesuai kepada tempatnya. Sehingga bisa juga difahami bahwa Islam Moderat adalah Islam yang tidak bersifat ekstrem baik itu dalam hal rasional ataupun tekstual.
Kemudian akan terjadi juga pertanyaan, sekarang kelompok manakah yang paling moderat? Bukankah setiap orang Islam bahkan yang menyimpang itu pun mengaku sebagai penganut Islam yang moderat?.
Menurut penulis sendiri, jawaban yang sangat pas untuk menjawab pertanyaan diatas adalah bahwa tentu memahami Islam yang adil sesuai dengan surat Al-Baqarah di atas adalah bukan tentang pengakuan atau klaim bahwa saya lah Islamnya yang paling moderat, tetapi lebih kepada isi dari ajaran Islam yang adil di antara ajaran yang terdapat dalam agama lain.
Oleh karenanya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy (W. 1955 M), menjelaskan tentang ummatan wasathan adalah sebagai umat yang adil dan terpilih. Allah Ta’ala menjadikan umat ini pertengahan (wasath) di dalam setiap perkara agama, seperti dalam masalah kenabian, antara sifat berlebih-lebihan dalam mengagungkan mereka seperti kaum Nashrani, dengan sikap pembangkangan seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Ataupun seperti masalah aqidah, ibadah, muamalah ataupun yang lainnya. (Taysir Karimir Rahmaan Fie Tafsiiri Kalaamil Mannaan)
Hal itu pun jika memang kata-kata “Wasath” di anggap mewakili penerjemahan kata “Moderat” ke dalam bahasa arab. Padahal, jika di teliti secara mendalam sebagaimana yang telah di jelaskan tentang makna dari wasath yang berarti adil dan terbaik, maka makna terebut tidaklah dijumpai dalam pengertian moderat yang mempunyai pengertian yang hanya sebatas berada dalam posisi pertengahan saja. Karena sama sekali tidak mencakup pengertian dari makna adil yang terkandung dalam kata wasath, maka penerjemahan bahasa arab kata moderat kepada kata wasath jelas tidak cocok, seperti arabisasi kata sekuler menjadi ‘ilmaniyah.
Maka, sikap ‘adil dan wasath dalam Islam pun tidak perlu di gandeng-gandengkan lagi dalam sebuah istilah, apalagi berupaya untuk melakukan pendikotomian umat Islam, karena secara substansi kedua sifat tersebut sudah ada dalam diri ajaran Islam sehingga tak perlu lagi Allah Ta’ala atau Rasul-Nya menerangkan dan menyebutkan bahwa Islam itu ada yang moderat (wasath) atau ada yang keras (radikal).
Jikalau disebutkan bahwa karakter ekstrimitas yang semula melekat pada golongan luar Islam sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh para mufassir klasik itu ternyata dijumpai dalam umat islam sendiri, maka pasti yang harus diluruskan kembali adalah umat yang terjerembab kepada sikap ekstrem tersebut, bukan kepada ajaran-ajaran yang ada dalam Islam.
Sebagaimana juga jika didapati sekelompok orang yang bersikap ekstrem dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 62 kemudian menyimpulkan bahwa Islam telah mengajarkan faham Pluralisme agama, tentu ini adalah tafsir liberal yang sangat ekstrem yang mengajak manusia untuk mempunyai pemahaman bahwa semua agama adalah benar, maka yang diluruskan bukanlah kepada ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil tersebut, akan tetapi harus kepada orang yang telah menafsirkan ayat itu secara menyimpang.
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/02/25848-meninjau-kembali-istilah-islam-moderat.html#sthash.3Xzyo82X.dpuf
alah satu contoh kongkrit dalam masalah ini adalah, munculnya golongan yang menamakan diri mereka sebagai “Jaringan Islam Liberal”. Di tinjau dari segi terminologi, maka perkawinan kata yang menjadikan satu istilah khusus seperti Islam Liberal ini nampak sekali terlihat konsep dari masing-masing kata yang saling membentur sehingga menghasilkan sesuatu yang confuse (membingungkan). Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang sudah mempunyai aturan yang terikat dan jelas harus diliberalkan atau di buat sedemikian bebas sehingga Islam tidak lagi bersifat sebagai agama yang mengikat namun agama yang bebas yang sesuai dengan kondisi zaman.
Begitu juga dengan istilah yang tak kalah marak dikalangan cendekiawan muslim, yaitu “Islam Moderat”. Sebuah istilah yang sering disematkan kepada orang-orang yang tidak kaku dalam memahami Islam, mau menghadiri perayaan hari raya agama lain, memimpin do’a lintas agama, modern dan yang lain sebagainya. Maka dalam kesempatan ini artikel ini bertujuan untuk menaggapi artikel berjudul  Islam “Moderat”  ditulis oleh aktivis liberal Ulil Abshar Abdalla yang di muat dalam situs www.islamlib.com.
Surat Al-Baqarah ayat 143, menjadi sebuah ayat yang favorit bagi kalangan liberalis tentang legitimasi terhadap istilah “Islam Moderat”, dan istilah ini di pertentangkan juga dengan istilah lain yaitu “Islam Radikal”. Sehingga pada saat ini, Islam seakan-akan terbagi menjadi dua, antara yang moderat dengan yang radikal.
Ulil Abshar Abdalla, salah seorang aktivis liberal, memberikan pengertian Islam Moderat dengan menukil ucapan dari Tawfik Hamid, “Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).” Dalam pandangan ulil pun, Islam Moderat dalam bahasa arab di istilahkan dengan “Al-Islam Al-Wasat.” Atau moderasi Islam yang kemudian ia ungkapkan dengan frasa “Wasatiyyat Al-Islam.
Sehingga, secara eksplisit bisa disimpulkan juga, bahwa pengertian dari “Islam Radikal” yang menjadi lawan dari Islam Moderat adalah “Islam yang mendukung secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.“Istilah ini, sebenarnya secara tidak langsung telah mendiskreditkan kaum muslimin yang memperjuangkan hukum-hukum syari’at agar bisa di tegakkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara umum dalam bingkai yang lebih luas.
Tentu hukum-hukum Islam yang menjadi sorotan kaum Liberal dimana mereka anggap keras dan sarat dengan diskriminasidapat di lihat dari sisi yang pertama, yaitu dari aspekpidana islam. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai nishab, hukum qishash bagi pembunuh, hukum mati terhadap orang Islam yang murtad dan lain sebagainya.
Adapun sisi yang kedua, yaitu dalam aspek hukum perdata Islam. Seperti wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, dalam pembagian harta waris wanita hanya mendapatkan setengah dari laki-laki, wajibnya berjilbab bagi wanita yang sudah baligh, atau bolehnya poligami bagi laki-laki dan yang lainnya. Dan yang terakhir, dari sisi yang ketiga adalah masalah hukum jihad fi sabilillah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang sering mereka sebut dengan istilah “perang suci”.
Jika memang yang di maksud dengan hukum yang keras dan diskriminatif adalah seperti yang dicontohkan di atas. Secara tidak langsung, tentu hal tersebut sudah masuk kepada ranah oto-kritik terhadap syari’at Islam. Sehingga banyak syari’at yang harus di moderatkan, di rubah secara totalitas karena sudah tidak relevan lagi pada zaman modern.
Lalu ujung-ujungnya, maka yang disuarakan kembali adalah meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, maka semua itu harus di deskonstruksi, dan disesuaikan lagi dengan hukum tersebut bersifat dinamis.
Sebenarnya, kalau memang ingin merujuk secara jujur kepada definisi seperti yang telah diungkapkan oleh Tawfik Hamid di atas, tentu Rasulullah saw pun menjadi sorotan utama sebagi seorang Nabi yang telah mengajarkan kekerasan dan tindak diskriminasi kepada umat Islam. Karena beliau juga telah menerapkan syari’at Islam secara sempurna baik pidana, perdata, jihad atau yang lainnya. Lalu, apakah masuk kepada logika juga, bahwa Tawfiq atau Ulil itu Islam yang moderat, sedangkan Rasulullah dan orang yang mengikutinya adalah Islam yang radikal.
Ataupun, jika mereka mempunyai pendapat bahwa syari’at-syari’at di atas hanya cocok pada zaman Rasulullah saja, bahwa hukum-hukum Islam yang bersifat keras tersebut relevan untuk zaman dahulu dan tidak relevan untuk zaman sekarang, maka akan juga timbul pertanyaan kalau hukum-hukum yang di anggap keras tersebut hanya cocok untuk zaman dahulu saja, mengapa Rasulullah saw menolak untuk membunuh orang-orang munafik yang terlalu sering memfitnah beliau? Bukankah pertimbangan beliau adalah, tidak menginginkan orang-orang kafir mempunyai keyakinan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri? Tentu keras atau tidaknya syari’at Islam itu tidak bisa di nilai dari perasaan satu atau sekelompok manusia saja, tetapi lebih kepada efektifitas serta maslahat yang terdapat dalam syari’at Islam yang di pandang keras tersebut.
Kembali kepada pengistilahan “Al-Islam Al-Wasath” (Islam Moderat) yang telah di ungkapkan oleh Ulil Abshar, bahwasanya konsep tersebut dia kaitkan dengan ayat 143 dari surat Al-Baqarah. Yang dia terjemahkan secara lengkap “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Sebenarnya, Ulil pun sudah mengakui bahwasanya yang di maksud dengan moderat dalam Islam adalah seperti yang dia nukilkan dari syaikh Muhammad Abduh, yaitu sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Tentu sikap dari pertengahan tersebut masuk juga kepada rasa adil dalam menyingkapi perbedaan yang ada.
Tetapi ketika kita mencermati lagi pernyataan tentang definisi dari moderat yaitu sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.Tentu pengertian tersebut sudah mendorong setiap pembacanya untuk diajak berkeyakinan ekstrem dalam menolak syari’at Islam yang sudah baku.
Karena sikap menolak adalah bukan lagi sifat yang menengahi dua kutub berbeda, akan tetapi sudah masuk kepada salah satu kutub yang malah harus di pertengahi lagi. Maka dari itu, hal ini sangat bertentangan dengan konsep ‘adil dalam Islam, karena para ulama’ sudah memahami tentang sikap ‘adil sebagai sebuah sikap yang menempatkan sesuatu sesuai kepada tempatnya. Sehingga bisa juga difahami bahwa Islam Moderat adalah Islam yang tidak bersifat ekstrem baik itu dalam hal rasional ataupun tekstual.
Kemudian akan terjadi juga pertanyaan, sekarang kelompok manakah yang paling moderat? Bukankah setiap orang Islam bahkan yang menyimpang itu pun mengaku sebagai penganut Islam yang moderat?.
Menurut penulis sendiri, jawaban yang sangat pas untuk menjawab pertanyaan diatas adalah bahwa tentu memahami Islam yang adil sesuai dengan surat Al-Baqarah di atas adalah bukan tentang pengakuan atau klaim bahwa saya lah Islamnya yang paling moderat, tetapi lebih kepada isi dari ajaran Islam yang adil di antara ajaran yang terdapat dalam agama lain.
Oleh karenanya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy (W. 1955 M), menjelaskan tentang ummatan wasathan adalah sebagai umat yang adil dan terpilih. Allah Ta’ala menjadikan umat ini pertengahan (wasath) di dalam setiap perkara agama, seperti dalam masalah kenabian, antara sifat berlebih-lebihan dalam mengagungkan mereka seperti kaum Nashrani, dengan sikap pembangkangan seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Ataupun seperti masalah aqidah, ibadah, muamalah ataupun yang lainnya. (Taysir Karimir Rahmaan Fie Tafsiiri Kalaamil Mannaan)
Hal itu pun jika memang kata-kata “Wasath” di anggap mewakili penerjemahan kata “Moderat” ke dalam bahasa arab. Padahal, jika di teliti secara mendalam sebagaimana yang telah di jelaskan tentang makna dari wasath yang berarti adil dan terbaik, maka makna terebut tidaklah dijumpai dalam pengertian moderat yang mempunyai pengertian yang hanya sebatas berada dalam posisi pertengahan saja. Karena sama sekali tidak mencakup pengertian dari makna adil yang terkandung dalam kata wasath, maka penerjemahan bahasa arab kata moderat kepada kata wasath jelas tidak cocok, seperti arabisasi kata sekuler menjadi ‘ilmaniyah.
Maka, sikap ‘adil dan wasath dalam Islam pun tidak perlu di gandeng-gandengkan lagi dalam sebuah istilah, apalagi berupaya untuk melakukan pendikotomian umat Islam, karena secara substansi kedua sifat tersebut sudah ada dalam diri ajaran Islam sehingga tak perlu lagi Allah Ta’ala atau Rasul-Nya menerangkan dan menyebutkan bahwa Islam itu ada yang moderat (wasath) atau ada yang keras (radikal).
Jikalau disebutkan bahwa karakter ekstrimitas yang semula melekat pada golongan luar Islam sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh para mufassir klasik itu ternyata dijumpai dalam umat islam sendiri, maka pasti yang harus diluruskan kembali adalah umat yang terjerembab kepada sikap ekstrem tersebut, bukan kepada ajaran-ajaran yang ada dalam Islam.
Sebagaimana juga jika didapati sekelompok orang yang bersikap ekstrem dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 62 kemudian menyimpulkan bahwa Islam telah mengajarkan faham Pluralisme agama, tentu ini adalah tafsir liberal yang sangat ekstrem yang mengajak manusia untuk mempunyai pemahaman bahwa semua agama adalah benar, maka yang diluruskan bukanlah kepada ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil tersebut, akan tetapi harus kepada orang yang telah menafsirkan ayat itu secara menyimpang.
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/02/25848-meninjau-kembali-istilah-islam-moderat.html#sthash.3Xzyo82X.dpuf
alah satu contoh kongkrit dalam masalah ini adalah, munculnya golongan yang menamakan diri mereka sebagai “Jaringan Islam Liberal”. Di tinjau dari segi terminologi, maka perkawinan kata yang menjadikan satu istilah khusus seperti Islam Liberal ini nampak sekali terlihat konsep dari masing-masing kata yang saling membentur sehingga menghasilkan sesuatu yang confuse (membingungkan). Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang sudah mempunyai aturan yang terikat dan jelas harus diliberalkan atau di buat sedemikian bebas sehingga Islam tidak lagi bersifat sebagai agama yang mengikat namun agama yang bebas yang sesuai dengan kondisi zaman.
Begitu juga dengan istilah yang tak kalah marak dikalangan cendekiawan muslim, yaitu “Islam Moderat”. Sebuah istilah yang sering disematkan kepada orang-orang yang tidak kaku dalam memahami Islam, mau menghadiri perayaan hari raya agama lain, memimpin do’a lintas agama, modern dan yang lain sebagainya. Maka dalam kesempatan ini artikel ini bertujuan untuk menaggapi artikel berjudul  Islam “Moderat”  ditulis oleh aktivis liberal Ulil Abshar Abdalla yang di muat dalam situs www.islamlib.com.
Surat Al-Baqarah ayat 143, menjadi sebuah ayat yang favorit bagi kalangan liberalis tentang legitimasi terhadap istilah “Islam Moderat”, dan istilah ini di pertentangkan juga dengan istilah lain yaitu “Islam Radikal”. Sehingga pada saat ini, Islam seakan-akan terbagi menjadi dua, antara yang moderat dengan yang radikal.
Ulil Abshar Abdalla, salah seorang aktivis liberal, memberikan pengertian Islam Moderat dengan menukil ucapan dari Tawfik Hamid, “Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).” Dalam pandangan ulil pun, Islam Moderat dalam bahasa arab di istilahkan dengan “Al-Islam Al-Wasat.” Atau moderasi Islam yang kemudian ia ungkapkan dengan frasa “Wasatiyyat Al-Islam.
Sehingga, secara eksplisit bisa disimpulkan juga, bahwa pengertian dari “Islam Radikal” yang menjadi lawan dari Islam Moderat adalah “Islam yang mendukung secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.“Istilah ini, sebenarnya secara tidak langsung telah mendiskreditkan kaum muslimin yang memperjuangkan hukum-hukum syari’at agar bisa di tegakkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara umum dalam bingkai yang lebih luas.
Tentu hukum-hukum Islam yang menjadi sorotan kaum Liberal dimana mereka anggap keras dan sarat dengan diskriminasidapat di lihat dari sisi yang pertama, yaitu dari aspekpidana islam. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai nishab, hukum qishash bagi pembunuh, hukum mati terhadap orang Islam yang murtad dan lain sebagainya.
Adapun sisi yang kedua, yaitu dalam aspek hukum perdata Islam. Seperti wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, dalam pembagian harta waris wanita hanya mendapatkan setengah dari laki-laki, wajibnya berjilbab bagi wanita yang sudah baligh, atau bolehnya poligami bagi laki-laki dan yang lainnya. Dan yang terakhir, dari sisi yang ketiga adalah masalah hukum jihad fi sabilillah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang sering mereka sebut dengan istilah “perang suci”.
Jika memang yang di maksud dengan hukum yang keras dan diskriminatif adalah seperti yang dicontohkan di atas. Secara tidak langsung, tentu hal tersebut sudah masuk kepada ranah oto-kritik terhadap syari’at Islam. Sehingga banyak syari’at yang harus di moderatkan, di rubah secara totalitas karena sudah tidak relevan lagi pada zaman modern.
Lalu ujung-ujungnya, maka yang disuarakan kembali adalah meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, maka semua itu harus di deskonstruksi, dan disesuaikan lagi dengan hukum tersebut bersifat dinamis.
Sebenarnya, kalau memang ingin merujuk secara jujur kepada definisi seperti yang telah diungkapkan oleh Tawfik Hamid di atas, tentu Rasulullah saw pun menjadi sorotan utama sebagi seorang Nabi yang telah mengajarkan kekerasan dan tindak diskriminasi kepada umat Islam. Karena beliau juga telah menerapkan syari’at Islam secara sempurna baik pidana, perdata, jihad atau yang lainnya. Lalu, apakah masuk kepada logika juga, bahwa Tawfiq atau Ulil itu Islam yang moderat, sedangkan Rasulullah dan orang yang mengikutinya adalah Islam yang radikal.
Ataupun, jika mereka mempunyai pendapat bahwa syari’at-syari’at di atas hanya cocok pada zaman Rasulullah saja, bahwa hukum-hukum Islam yang bersifat keras tersebut relevan untuk zaman dahulu dan tidak relevan untuk zaman sekarang, maka akan juga timbul pertanyaan kalau hukum-hukum yang di anggap keras tersebut hanya cocok untuk zaman dahulu saja, mengapa Rasulullah saw menolak untuk membunuh orang-orang munafik yang terlalu sering memfitnah beliau? Bukankah pertimbangan beliau adalah, tidak menginginkan orang-orang kafir mempunyai keyakinan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri? Tentu keras atau tidaknya syari’at Islam itu tidak bisa di nilai dari perasaan satu atau sekelompok manusia saja, tetapi lebih kepada efektifitas serta maslahat yang terdapat dalam syari’at Islam yang di pandang keras tersebut.
Kembali kepada pengistilahan “Al-Islam Al-Wasath” (Islam Moderat) yang telah di ungkapkan oleh Ulil Abshar, bahwasanya konsep tersebut dia kaitkan dengan ayat 143 dari surat Al-Baqarah. Yang dia terjemahkan secara lengkap “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Sebenarnya, Ulil pun sudah mengakui bahwasanya yang di maksud dengan moderat dalam Islam adalah seperti yang dia nukilkan dari syaikh Muhammad Abduh, yaitu sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Tentu sikap dari pertengahan tersebut masuk juga kepada rasa adil dalam menyingkapi perbedaan yang ada.
Tetapi ketika kita mencermati lagi pernyataan tentang definisi dari moderat yaitu sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.Tentu pengertian tersebut sudah mendorong setiap pembacanya untuk diajak berkeyakinan ekstrem dalam menolak syari’at Islam yang sudah baku.
Karena sikap menolak adalah bukan lagi sifat yang menengahi dua kutub berbeda, akan tetapi sudah masuk kepada salah satu kutub yang malah harus di pertengahi lagi. Maka dari itu, hal ini sangat bertentangan dengan konsep ‘adil dalam Islam, karena para ulama’ sudah memahami tentang sikap ‘adil sebagai sebuah sikap yang menempatkan sesuatu sesuai kepada tempatnya. Sehingga bisa juga difahami bahwa Islam Moderat adalah Islam yang tidak bersifat ekstrem baik itu dalam hal rasional ataupun tekstual.
Kemudian akan terjadi juga pertanyaan, sekarang kelompok manakah yang paling moderat? Bukankah setiap orang Islam bahkan yang menyimpang itu pun mengaku sebagai penganut Islam yang moderat?.
Menurut penulis sendiri, jawaban yang sangat pas untuk menjawab pertanyaan diatas adalah bahwa tentu memahami Islam yang adil sesuai dengan surat Al-Baqarah di atas adalah bukan tentang pengakuan atau klaim bahwa saya lah Islamnya yang paling moderat, tetapi lebih kepada isi dari ajaran Islam yang adil di antara ajaran yang terdapat dalam agama lain.
Oleh karenanya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy (W. 1955 M), menjelaskan tentang ummatan wasathan adalah sebagai umat yang adil dan terpilih. Allah Ta’ala menjadikan umat ini pertengahan (wasath) di dalam setiap perkara agama, seperti dalam masalah kenabian, antara sifat berlebih-lebihan dalam mengagungkan mereka seperti kaum Nashrani, dengan sikap pembangkangan seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Ataupun seperti masalah aqidah, ibadah, muamalah ataupun yang lainnya. (Taysir Karimir Rahmaan Fie Tafsiiri Kalaamil Mannaan)
Hal itu pun jika memang kata-kata “Wasath” di anggap mewakili penerjemahan kata “Moderat” ke dalam bahasa arab. Padahal, jika di teliti secara mendalam sebagaimana yang telah di jelaskan tentang makna dari wasath yang berarti adil dan terbaik, maka makna terebut tidaklah dijumpai dalam pengertian moderat yang mempunyai pengertian yang hanya sebatas berada dalam posisi pertengahan saja. Karena sama sekali tidak mencakup pengertian dari makna adil yang terkandung dalam kata wasath, maka penerjemahan bahasa arab kata moderat kepada kata wasath jelas tidak cocok, seperti arabisasi kata sekuler menjadi ‘ilmaniyah.
Maka, sikap ‘adil dan wasath dalam Islam pun tidak perlu di gandeng-gandengkan lagi dalam sebuah istilah, apalagi berupaya untuk melakukan pendikotomian umat Islam, karena secara substansi kedua sifat tersebut sudah ada dalam diri ajaran Islam sehingga tak perlu lagi Allah Ta’ala atau Rasul-Nya menerangkan dan menyebutkan bahwa Islam itu ada yang moderat (wasath) atau ada yang keras (radikal).
Jikalau disebutkan bahwa karakter ekstrimitas yang semula melekat pada golongan luar Islam sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh para mufassir klasik itu ternyata dijumpai dalam umat islam sendiri, maka pasti yang harus diluruskan kembali adalah umat yang terjerembab kepada sikap ekstrem tersebut, bukan kepada ajaran-ajaran yang ada dalam Islam.
Sebagaimana juga jika didapati sekelompok orang yang bersikap ekstrem dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 62 kemudian menyimpulkan bahwa Islam telah mengajarkan faham Pluralisme agama, tentu ini adalah tafsir liberal yang sangat ekstrem yang mengajak manusia untuk mempunyai pemahaman bahwa semua agama adalah benar, maka yang diluruskan bukanlah kepada ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil tersebut, akan tetapi harus kepada orang yang telah menafsirkan ayat itu secara menyimpang.
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/02/25848-meninjau-kembali-istilah-islam-moderat.html#sthash.3Xzyo82X.dpuf
alah satu contoh kongkrit dalam masalah ini adalah, munculnya golongan yang menamakan diri mereka sebagai “Jaringan Islam Liberal”. Di tinjau dari segi terminologi, maka perkawinan kata yang menjadikan satu istilah khusus seperti Islam Liberal ini nampak sekali terlihat konsep dari masing-masing kata yang saling membentur sehingga menghasilkan sesuatu yang confuse (membingungkan). Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang sudah mempunyai aturan yang terikat dan jelas harus diliberalkan atau di buat sedemikian bebas sehingga Islam tidak lagi bersifat sebagai agama yang mengikat namun agama yang bebas yang sesuai dengan kondisi zaman.
Begitu juga dengan istilah yang tak kalah marak dikalangan cendekiawan muslim, yaitu “Islam Moderat”. Sebuah istilah yang sering disematkan kepada orang-orang yang tidak kaku dalam memahami Islam, mau menghadiri perayaan hari raya agama lain, memimpin do’a lintas agama, modern dan yang lain sebagainya. Maka dalam kesempatan ini artikel ini bertujuan untuk menaggapi artikel berjudul  Islam “Moderat”  ditulis oleh aktivis liberal Ulil Abshar Abdalla yang di muat dalam situs www.islamlib.com.
Surat Al-Baqarah ayat 143, menjadi sebuah ayat yang favorit bagi kalangan liberalis tentang legitimasi terhadap istilah “Islam Moderat”, dan istilah ini di pertentangkan juga dengan istilah lain yaitu “Islam Radikal”. Sehingga pada saat ini, Islam seakan-akan terbagi menjadi dua, antara yang moderat dengan yang radikal.
Ulil Abshar Abdalla, salah seorang aktivis liberal, memberikan pengertian Islam Moderat dengan menukil ucapan dari Tawfik Hamid, “Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).” Dalam pandangan ulil pun, Islam Moderat dalam bahasa arab di istilahkan dengan “Al-Islam Al-Wasat.” Atau moderasi Islam yang kemudian ia ungkapkan dengan frasa “Wasatiyyat Al-Islam.
Sehingga, secara eksplisit bisa disimpulkan juga, bahwa pengertian dari “Islam Radikal” yang menjadi lawan dari Islam Moderat adalah “Islam yang mendukung secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.“Istilah ini, sebenarnya secara tidak langsung telah mendiskreditkan kaum muslimin yang memperjuangkan hukum-hukum syari’at agar bisa di tegakkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara umum dalam bingkai yang lebih luas.
Tentu hukum-hukum Islam yang menjadi sorotan kaum Liberal dimana mereka anggap keras dan sarat dengan diskriminasidapat di lihat dari sisi yang pertama, yaitu dari aspekpidana islam. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai nishab, hukum qishash bagi pembunuh, hukum mati terhadap orang Islam yang murtad dan lain sebagainya.
Adapun sisi yang kedua, yaitu dalam aspek hukum perdata Islam. Seperti wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, dalam pembagian harta waris wanita hanya mendapatkan setengah dari laki-laki, wajibnya berjilbab bagi wanita yang sudah baligh, atau bolehnya poligami bagi laki-laki dan yang lainnya. Dan yang terakhir, dari sisi yang ketiga adalah masalah hukum jihad fi sabilillah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang sering mereka sebut dengan istilah “perang suci”.
Jika memang yang di maksud dengan hukum yang keras dan diskriminatif adalah seperti yang dicontohkan di atas. Secara tidak langsung, tentu hal tersebut sudah masuk kepada ranah oto-kritik terhadap syari’at Islam. Sehingga banyak syari’at yang harus di moderatkan, di rubah secara totalitas karena sudah tidak relevan lagi pada zaman modern.
Lalu ujung-ujungnya, maka yang disuarakan kembali adalah meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, maka semua itu harus di deskonstruksi, dan disesuaikan lagi dengan hukum tersebut bersifat dinamis.
Sebenarnya, kalau memang ingin merujuk secara jujur kepada definisi seperti yang telah diungkapkan oleh Tawfik Hamid di atas, tentu Rasulullah saw pun menjadi sorotan utama sebagi seorang Nabi yang telah mengajarkan kekerasan dan tindak diskriminasi kepada umat Islam. Karena beliau juga telah menerapkan syari’at Islam secara sempurna baik pidana, perdata, jihad atau yang lainnya. Lalu, apakah masuk kepada logika juga, bahwa Tawfiq atau Ulil itu Islam yang moderat, sedangkan Rasulullah dan orang yang mengikutinya adalah Islam yang radikal.
Ataupun, jika mereka mempunyai pendapat bahwa syari’at-syari’at di atas hanya cocok pada zaman Rasulullah saja, bahwa hukum-hukum Islam yang bersifat keras tersebut relevan untuk zaman dahulu dan tidak relevan untuk zaman sekarang, maka akan juga timbul pertanyaan kalau hukum-hukum yang di anggap keras tersebut hanya cocok untuk zaman dahulu saja, mengapa Rasulullah saw menolak untuk membunuh orang-orang munafik yang terlalu sering memfitnah beliau? Bukankah pertimbangan beliau adalah, tidak menginginkan orang-orang kafir mempunyai keyakinan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri? Tentu keras atau tidaknya syari’at Islam itu tidak bisa di nilai dari perasaan satu atau sekelompok manusia saja, tetapi lebih kepada efektifitas serta maslahat yang terdapat dalam syari’at Islam yang di pandang keras tersebut.
Kembali kepada pengistilahan “Al-Islam Al-Wasath” (Islam Moderat) yang telah di ungkapkan oleh Ulil Abshar, bahwasanya konsep tersebut dia kaitkan dengan ayat 143 dari surat Al-Baqarah. Yang dia terjemahkan secara lengkap “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Sebenarnya, Ulil pun sudah mengakui bahwasanya yang di maksud dengan moderat dalam Islam adalah seperti yang dia nukilkan dari syaikh Muhammad Abduh, yaitu sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Tentu sikap dari pertengahan tersebut masuk juga kepada rasa adil dalam menyingkapi perbedaan yang ada.
Tetapi ketika kita mencermati lagi pernyataan tentang definisi dari moderat yaitu sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.Tentu pengertian tersebut sudah mendorong setiap pembacanya untuk diajak berkeyakinan ekstrem dalam menolak syari’at Islam yang sudah baku.
Karena sikap menolak adalah bukan lagi sifat yang menengahi dua kutub berbeda, akan tetapi sudah masuk kepada salah satu kutub yang malah harus di pertengahi lagi. Maka dari itu, hal ini sangat bertentangan dengan konsep ‘adil dalam Islam, karena para ulama’ sudah memahami tentang sikap ‘adil sebagai sebuah sikap yang menempatkan sesuatu sesuai kepada tempatnya. Sehingga bisa juga difahami bahwa Islam Moderat adalah Islam yang tidak bersifat ekstrem baik itu dalam hal rasional ataupun tekstual.
Kemudian akan terjadi juga pertanyaan, sekarang kelompok manakah yang paling moderat? Bukankah setiap orang Islam bahkan yang menyimpang itu pun mengaku sebagai penganut Islam yang moderat?.
Menurut penulis sendiri, jawaban yang sangat pas untuk menjawab pertanyaan diatas adalah bahwa tentu memahami Islam yang adil sesuai dengan surat Al-Baqarah di atas adalah bukan tentang pengakuan atau klaim bahwa saya lah Islamnya yang paling moderat, tetapi lebih kepada isi dari ajaran Islam yang adil di antara ajaran yang terdapat dalam agama lain.
Oleh karenanya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy (W. 1955 M), menjelaskan tentang ummatan wasathan adalah sebagai umat yang adil dan terpilih. Allah Ta’ala menjadikan umat ini pertengahan (wasath) di dalam setiap perkara agama, seperti dalam masalah kenabian, antara sifat berlebih-lebihan dalam mengagungkan mereka seperti kaum Nashrani, dengan sikap pembangkangan seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Ataupun seperti masalah aqidah, ibadah, muamalah ataupun yang lainnya. (Taysir Karimir Rahmaan Fie Tafsiiri Kalaamil Mannaan)
Hal itu pun jika memang kata-kata “Wasath” di anggap mewakili penerjemahan kata “Moderat” ke dalam bahasa arab. Padahal, jika di teliti secara mendalam sebagaimana yang telah di jelaskan tentang makna dari wasath yang berarti adil dan terbaik, maka makna terebut tidaklah dijumpai dalam pengertian moderat yang mempunyai pengertian yang hanya sebatas berada dalam posisi pertengahan saja. Karena sama sekali tidak mencakup pengertian dari makna adil yang terkandung dalam kata wasath, maka penerjemahan bahasa arab kata moderat kepada kata wasath jelas tidak cocok, seperti arabisasi kata sekuler menjadi ‘ilmaniyah.
Maka, sikap ‘adil dan wasath dalam Islam pun tidak perlu di gandeng-gandengkan lagi dalam sebuah istilah, apalagi berupaya untuk melakukan pendikotomian umat Islam, karena secara substansi kedua sifat tersebut sudah ada dalam diri ajaran Islam sehingga tak perlu lagi Allah Ta’ala atau Rasul-Nya menerangkan dan menyebutkan bahwa Islam itu ada yang moderat (wasath) atau ada yang keras (radikal).
Jikalau disebutkan bahwa karakter ekstrimitas yang semula melekat pada golongan luar Islam sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh para mufassir klasik itu ternyata dijumpai dalam umat islam sendiri, maka pasti yang harus diluruskan kembali adalah umat yang terjerembab kepada sikap ekstrem tersebut, bukan kepada ajaran-ajaran yang ada dalam Islam.
Sebagaimana juga jika didapati sekelompok orang yang bersikap ekstrem dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 62 kemudian menyimpulkan bahwa Islam telah mengajarkan faham Pluralisme agama, tentu ini adalah tafsir liberal yang sangat ekstrem yang mengajak manusia untuk mempunyai pemahaman bahwa semua agama adalah benar, maka yang diluruskan bukanlah kepada ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil tersebut, akan tetapi harus kepada orang yang telah menafsirkan ayat itu secara menyimpang.
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/02/25848-meninjau-kembali-istilah-islam-moderat.html#sthash.3Xzyo82X.dpuf

Thursday 19 November 2015

Dampak buruk uang haram

  • ALLAH Ta’ala mengharamkan usaha haram karena memiliki implikasi buruk dan bahaya terhadap pelakunya. Di antaranya adalah:
  • 1. Usaha yang haram mengotori hati dan membuat malas anggota tubuh dalam berbuat ketaatan serta hilangnya berkah rezeki dan umur.
  • Usaha yang haram adalah kemaksiatan dan perbuatan dosa yang memiliki implikasi buruk sangat banyak sekali, di antaranya membuat hati kotor dan gelap.
Ø Ibnul-Qayyim Rahimahullah menegas­kan:
  • “Di antara implikasi buruk kemaksiatan adalah kege­lapan yang didapatkan di hatinya, yang dapat ia rasakan sebagaimana merasakan kegelapan malam yang gelap gulita, sehingga gelapnya kemaksiatan di kalbu seperti kegelapan di mata­nya. Sebab, ketaatan adalah cahaya dan kemak­siatan adalah kegelapan. Semakin tebal kege­lapan, maka keguncangannya pun akan semakin bertambah hingga terjerumus dalam  dan kesesatan serta perkara yang membinasakan tanpa ia sadari, seperti orang buta keluar di kegelapan malam berjalan sendiri. Kegelapan ini semakin kuat hingga nampak di mata kemudian menguat hingga nampak terlihat di wajah dan menjadikan warna hitam di wajah hingga semua orang dapat melihatnya”. (Al-Jawâbul-Kâf­i, Ibnu al-Qayyim, hlm 98-99)

Ø Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘Anhu menyatakan:
  • “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya di kalbu dan sinar di wajah, kekuatan di badan, tambahan dalam rezeki serta kecintaan di hati para makhluk. Kejelekan (dosa) memberikan warna hitam di wajah, kegelapan di hati, kele­mahan di badan, kekurangan dalam rezeki dan kebencian di hati para makhluk”. (Al-Jawâbul-Kâf­i, ibnu al-Qayyim, hlm 99)

Demikian juga usaha yang haram ini menghilangkan berkah rezeki dan umur pelakunya.
  • 2. Usaha yang haram tentunya akan menghasilkan harta dan makanan yang haram juga, sehingga pelakunya akan tumbuh dari makanan yang haram.
  • Bila demikian, maka neraka lebih pantas baginya, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabda beliau:

إِنَّهُ لَا يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

  • “Sesungguhnya tidak berkembang daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya.” 3)
  • 3. Usaha yang haram mengakibatkan kemurkaan Allah Ta’ala serta memasukkan pelakunya ke dalam neraka.
  • Hal ini dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalan hadits Abu Umâmah al-Hâritsi bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ . ((فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ )) قَالَ : وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ .

  • “Siapa yang mengambil hak seorang Muslim dengan sumpahnya, maka Allah masukkan ke da­lam neraka dan mengharamkannya­ surga.” “Seorang bertanya kepada beliau: ‘Walaupun hanya sesuatu yang remeh wahai Rasulullah?’” Beliau menjawab: “Walaupun hanya sepotong kayu siwak”.[1])

Juga dalam sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :

إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُوْنَ­ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

  • “Sesungguhnya banyak orang beraktifitas pada harta Allah dengan tidak benar maka mereka berhak mendapatkan neraka di hari kiamat.”[2])

Inipun dipertegas dengan sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِالْحَرَامِ

“Tidak akan masuk surga tubuh yang diberi makan dengan yang haram.”[3])

  • 4. Usaha yang haram dapat mengakibatkan tidak diterimanya doa dan amal shalih pelakunya.

  • Karena makanan dan minuman yang didapatkan dari usaha haram adalah haram dan makanan haram dapat mengakibatkan doa dan amal shalihnya tidak diterima, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabdanya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ­، فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيْمٌ، وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ .

  • “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan Allah memerintahkan ke­pada orang-orang Mukmin dengan apa yang diperintahkanny­a kepada para rasul dalam firman-Nya, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’. (QS. al-Mukminûn (23) : 51).
  • Dan Ia berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu’ (QS. al-Baqarah (2) : 172).
  • Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut lagi berdebu, ia mengulurkan kedua tangannya ke arah langit sambil berdoa: ‘Ya Rabb, Ya Rabb’ sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram. Maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!­”[4])

Ø Ibnu Rajab Rahimahullah berkata,
  • “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan makan makanan yang halal. Sedangkan makan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya tidak diterima”.[5])

Ø Prof. DR. `Abdurrazâq bin `Abdulmuhsin al ‘Abbâd Hafizhahullâh menjelaskan hadits ini dengan me­nyatakan:
  • ’Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memulai hadits ini dengan isyarat akan ba­haya­­nya makan barang haram dan hal itu termasuk pencegah dikabulkannya do’a. Dipahami darinya bahwa memperbagus makanan (memakan makanan halal) menjadi salah satu sebab di­kabulkannya do’a, sebagaimana dikatakan Wahb bin Munabbih: ‘Siapa yang ingin dikabulkan do’anya oleh Allah Ta’ala, hendaklah memperbagus makanannya’. Ketika Sa’d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu ‘Anhu ditanya tentang sebab dikabulkan doa para sahabat Rasulullah, beliau berkata, “Aku tidak mengangkat sesuap makanan pun ke mulutku kecuali aku mengetahui dari mana datang­nya dan dari mana ia keluar”.’[6])
  • Tidak diragukan lagi bahwa makanan dan usaha yang halal menuntut setiap manusia agar sadar dan mengetahui dengan baik setiap muamalah yang dilakukannya, mana yang haram dan mana yang halal serta yang syubhat (tidak jelas).

Wednesday 18 November 2015

Surah Al Kafirun Dan Terjemahannya


بِسْمِ الّلَةِالرّحْمَنِِ الرََّحِِيْمِ
dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang
١.قُلْ يأيُّهَاالْكَفِرُوْنَ
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir
٢ لَاأعْبُدُمَاتَعْبُدُوْنَ
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
٣ وَلأآنْتُمْ عَبِدُوْنَ مَآأَعْبُدُ
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah
٤ وَلَآأَنَاْعَابِدٌمَّاعَبَدْتُّمْ
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah
٥ وَلَآأَنْتُمْ عَبِدُوْنَ مَآأَعْبُدُ
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah
٦ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku

Tuesday 17 November 2015

Sejarah Turunnya Surah Al Kafirun

Sebab turun nya surat Al Kaafirun/asbabun nuzul


Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Quraisy berusaha mempengaruhi Nabi saw. dengan menawarkan kekayaan agar beliau menjadi seorang yang paling kaya di kota Makkah, dan akan dikawinkan dengan yang beliau kehendaki. Usaha ini disampaikan dengan berkata: "Inilah yang kami sediakan bagimu hai Muhammad, dengan syarat agar engkau jangan memaki-maki tuhan kami dan menjelekkannya, atau sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun." 
  • Nabi saw menjawab: "Aku akan menunggu wahyu dari Tuhanku." Ayat ini (S.109:1-6) turun berkenaan dengan peristiwa itu sebagai perintah untuk menolak tawaran kaum kafir. Dan turun pula Surat Az Zumar ayat 64 sebagai perintah untuk menolak ajakan orang-orang bodoh yang menyembah berhala. (Diriwayatkan oleh at-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.) 
  • Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum kafir Quraisy berkata kepada Nabi saw.: "Sekiranya engkau tidak keberatan mengikuti kami (menyembah berhala) selama setahun, kami akan mengikuti agamamu selama setahun pula." Maka turunlah Surat Al Kafirun (S.109:1-6). (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq yang bersumber dari Wahb dan Ibnul Mundzir yang bersumber dari Juraij.) 
  • Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Walid bin al-Mughirah, al-'Ashi bin Wa-il, al-Aswad bin Muthalib dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan Rasulullah saw dan berkata: "Hai Muhammad! Mari kita bersama menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami." Maka Allah menurunkan ayat ini (S.109:1-6) (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa'id bin Mina.)

    Surat Al Kaafiruun mengisyaratkan tentang habisnya semua harapan orang-orang kafir dalam usaha mereka agar Nabi Muhammad s.a.w. meninggalkan da'wahnya. HUBUNGAN SURAT AL KAAFIRUUN DENGAN SURAT AN NASHR Surat Al Kaafiruun menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w. tidak akan mengikuti agama orang-orang kafir, sedang dalam surat An Nashr diterangkan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. akan berkembang dan menang

Monday 16 November 2015

Arti "Haji"

Haji secara harfiah berarti "menuju, mengunjungi, terus menerus pergi dan mengunjungi tempat yang penting dan terhormat."

  • Sebagai istilah Islam haji berarti ibadah yang dilakukan di bulan Zulhijah tahun Hijriyah dengan melakukan beberapa tugas keagamaan sesuai dengan kondisi mereka dan metode dengan benar di Ka'bah, Arafah, Muzdalifa dan Mina.
  • Haji menjadi wajib sembilan tahun setelah Hijrah (kepindahan Nabi Muhammad (SAW) dari Mekah ke Madinah.)
  • Ibadah haji adalah fardhu (wajib) untuk setiap Muslim yang mampu
  • Allah (swt) memerintahkan haji dalam ayat ke-97 Surah al Al-Imran:
  • "Disana terdapat tanda tanda yang jelas  (petunjuk Allah), diantaranya maqam tempat Ibrahim berdiri untuk berdoa, dan siapa saja yang memasukinya maka amanlah dia. Dan ziarah ke Baitullah adalah kewajiban kepada Allah bagi umat manusia, bagi orang yang dapat menemukan jalan ke sana. Adapun orang yang mengingkari (kewajiban) haji, ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu dari semua makhluk) "(QS. al Al-Imran I, 97).
  • "Sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah." (QS. al Baqarah, 196)
  • "Wahai manusia! Allah (swt) telah menetapkan kewajiban ibadah haji. Bersegeralah untuk melakukan ibadah haji." (Muslim)
  • Haji adalah salah satu dari lima rukun Islam
  • Haji  adalah salah satu rukun Islam. Jadi, itu adalah perintah Allah (swt) yang fardhu seperti sholat dan puasa.
  •  Diriwayatkan oleh 'Abdullah bin' Umar bahwa Rasulullah (saw) bersabda:
  • "Kekuatan islam ditopang oleh lima (pilar), bersaksi  bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan melaksanakan sholat, membayar Zakat, Ziarah ke Rumah Allah (Ka'bah) dan puasa Ramadhan. "(Sahih Muslim, Buku 1, Hadis 20)
  • Haji membedakan umat Islam dari Kristen dan Yahudi
  • Kunjungan ke Ka'bah adalah khusus bagi umat Islam. Dalam agama Kristen dan Yudaisme tidak ada  kewajiban haji sesuai dengan doktrin Islam.
  • "Barang siapa yang memiliki cukup makanan untuk perjalanan, alat transportasi untuk mencapai ke Mekah, namun tidak melakukan haji, kemudian ia mati, ia maka akan mati sebagai seorang Yahudi atau Kristen" (At-Tirmidzi, Al-Bazzar)
  • Haji adalah salah satu perbuatan yang paling unggul
  • Dikisahkan oleh Abu Huraira:
  • Rasul Allah bertanya, "Apakah perbuatan terbaik?" Dia menjawab, "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad). Penanya itu kemudian bertanya," Apa berikutnya (dalam kebaikan)? Dia menjawab, "Ikut serta dalam jihad di jalan Allah." Penanya kembali bertanya, "Apa berikutnya (dalam kebaikan)?" Dia menjawab, "melakukan ibadah Haji  ke Mekah 'Mabrur, (yang diterima oleh Allah dan dilakukan dengan maksud mencari keridhoan Allah saja dan tidak untuk pamer dan tanpa melakukan dosa dan sesuai dengan tradisi Nabi). " (Bukhari, Book 2, Hadis 25) (Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)
  • Haji adalah penghapusan bagi dosa-dosa
  • Dikisahkan oleh Abu Huraira: Rasul Allah berkata,
  • "Siapapun yang melakukan haji ke rumah ini (Ka'bah) dan tidak mendekati istrinya untuk hubungan seksual atau melakukan dosa (saat melakukan ibadah haji), ia akan keluar  tanpa dosa seperti anak yang baru lahir. (yang baru dilahirkan oleh ibunya) . " (Bukhari, Kitab 28, hadis 45)
  • Pahala haji adalah "jannah"
  • Sayidina Abu Huraira meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda:
  • "Melaksanakan 'Umrah adalah kafarat untuk dosa yang dilakukan (antara itu dan sebelumnya). Dan pahala haji mabrur (yang diterima oleh Allah) adalah  surga." (Bukhari, Umra, 1) (Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)
  • Haji memberi wanita pahala jihad
  • Jika seorang wanita berhasil dalam melaksanakan haji nya dalam keikhlasan tanpa melakukan dosa, ia dianggap telah mencapai  jihad terbaiknya.
  • Dikisahkan  Ummul Mu’minin 'Aisyah: Saya berkata"!. Ya Rasulullah Kami menganggap jihad sebagai perbuatan terbaik", Nabi bersabda, "Jihad terbaik (untuk wanita) adalah haji mabrur." (Bukhari, Haij; 595)
  • Dikisahkan oleh Aisyah: Aku berkata, "Ya Rasulullah tidak bolehkah kami berpartisipasi dalam pertempuran suci dan jihad bersama dengan Anda!?" Dia menjawab, "Yang terbaik dan jihad paling unggul (untuk wanita) adalah haji yang diterima oleh Allah." Sayidina 'Aisha menambahkan: Sejak aku mendengar itu dari Rasul Allah aku telah bertekad untuk tidak melewatkan haji. (Bukhari, 29, 84)
  • Ketika paling banyak hamba diampuni adalah pada hari-hari haji
  • 'Aisyah (ra) menceritakan Rasulullah (saw) bersabda:
  • "Tidak ada hari dimana Allah membebaskan lebih banyak hamba-Nya dari neraka daripada hari 'Arafah. Dia semakin dekat, kemudian memuji mereka ke malaikat, sambil mengatakan: Apa yang hamba-hamba-Ku inginkan? "
  • (Muslim, Buku 7, Hadits: 3126)
  • Hari Arafah adalah hari yang cukup penting bagi haji. Wuquf yang merupakan pilar penting dari haji dilakukan pada hari Arafah pada sore sampai matahari terbenam. Rukun haji seorang muslim yang tidak melaksanakan wuquf tidak sah.
  • Jutaan umat Islam dari seluruh dunia memohon, berdoa dan menyembah Allah (swt) pada hari yang sama, di tempat yang sama, Arafah dan Allah swt melimpahkan pengampunan-Nya atas begitu banyak hamba pada hari Arafah yang diberkati .
  • "Tidak ada hari yang lebih baik dari pada hari Arafah dalam satu tahun, tidak ada hari yang lebih baik daripada hari Jumat selama seminggu." (Tirmidzi)
  • Haji adalah ibadah yang bahkan bayi dihargai
  • Ibnu Abbas, meriwayatkan bahwa Nabi (saw) bertemu dengan beberapa pengendara di al-Rawha 'dan berkata, "Siapa orang-orang ini?" Kata mereka, "Kaum Muslimin." Mereka berkata, "Siapa kau?" Katanya, " Rasulullah saw. "Seorang wanita mengangkat seorang anak dan berkata," Apakah ada haji untuknya? "Dia berkata, 'Ya, dan Anda akan mendapatkan pahala." (Muslim, 1336)
  • Haji adalah ibadah yang mendapat keuntungan dari karunia Allah (swt) sehubungan dengan imbalan duniawi juga
  • Dikisahkan oleh Ibn 'Abbas:
  • "Dzul Majaz-dan 'Ukaz adalah pasar rakyat selama periode pra-jahiliyah sebelum Islam. Ketika orang-orang memeluk Islam, mereka tidak menyukai untuk melakukan tawar-menawar di sana sampai Ayat Suci berikut diwahyukan: - Tidak ada salahnya bagi kalian Jika kalian mencari dari karunia  Tuhanmu (selama haji oleh perdagangan, dll) (2.198) ( Bukhari, Haj, 822)
  • Seperti disebutkan dalam suatu ayat, umat Islam diperbolehkan untuk terlibat dalam perdagangan dan bisnis selama hari-hari suci Haji. Namun, tentunya tidak boleh mencegah para jama’ah dari memenuhi kewajiban haji mereka. Larangan perdagangan khusus pada jam- jam di hari Jum’at.
  • Haji adalah ibadah yang dapat mengenal Nabi dan sahabat-Nya lebih dekat
  • Haji adalah ibadah yang mengilhami renungan mendalam untuk umat Islam karena dilakukan di tempat-tempat suci di mana Nabi tercinta (saw) dan para sahabatnya yang diberkati memenuhi tugas terhormat mereka.
  • Ibadah haji adalah untuk mengetahui "kepribadian kolektif dari Rasulullah (saw)" dengan pengetahuan tertentu yang merupakan sumber kebahagiaan dan perantaraan ummat ini.
  • Apa yang kita harus fahami dari ekspresi "kepribadian kolektif Nabi" adalah  dakwahnya (misi) dan keberadaannya sebagai nabi masa lalu dan bahkan masa depan.
  • Dunia ini seperti sebuah masjid  yang imamnya adalah  Nabi Muhammad (saw)yang diberkati.
  • Mekah adalah mihrab nya (altar) di mana Islam telah muncul dan itu adalah tempat di mana Nabi memimpin umat manusia untuk mempelajari ajaran iman.
  • Madina adalah mimbar  di mana Islam mulai diimplementasikan dan di mana etika sosial Islam diajarkan dan didirikan pada kehidupan sosial.
  • Mengunjungi tempat-tempat suci ini dengan renungan mendalam tentu membantu Muslim mendapatkan pengetahuan tulus dan tertentu tentang Nabi (saw) dan para sahabatnya yang dikasihi.
  • Haji mengingatkan Hari Kiamat
  • Haji adalah seperti latihan dari Perkumpuulan Agung pada Hari Kiamat.
  • Ritual haji  seperti symbol yang mengingatkan akan Hari Kiamat.
  • Rumah Suci Ka’bah di musim Haji mengingatkan "mahsyar" (lapangan tempat manusia dihimpun).
  • Perjalanan  Haji mengingatkan perjalanan manusia dari dunia ke akhirat. Ihram, pakaian haji, menyerupai kain kafan. Wuquf di Arafah dan Muzdalifah adalah pengingat dari Qiyamah (hari kiamat) dan padang mahsyar. Talbiyah adalah ekspresi penyerahan kepada Allah (swt). Tawaf (mengitari Ka’bah) adalah seperti contoh para malaikat yang mengelilingi para Arasy (Kursi Allah), menyentuh, mencium atau menunjuk Hajar Aswad (Batu Hitam) melambangkan kesetiaan kita kepada janji kita, sa'i antara Safa dan Marwa melambangkan kebaikan (thawabs) dan dosa-dosa dan jantung yang bolak-balik antara nafs dan jiwa. Mengorbankan hewan melambangkan pengorbanan nafs (jiwa) dengan melaksanakan ibadah dan keselamatan organ tubuh kita dari neraka sebagai imbalan atas organ hewan  yang diqurbankan.
  • Selama haji, semua jamaah haji apapun bangsa, bahasa, warna, peringkat atau status sosialnya, memakai pakaian yang sama,yaitu kain ihram yang menyerupai kain kuburan. Lapangan Haji penuh orang  berpakaian ihram memanifestasikan fakta yang disebutkan dalam ayat "Setiap jiwa akan merasakan kematian." (QS Al-Imran, 185). Refleksi kematian yang mendalam dan praktis tersebut adalah cara yang bagus dan efektif akan ketulusan, pengabdian, penyerahan yang mengarah ke keyakinan yang kuat.
  • Melalui haji, Muslim  memahami arti sebenarnya dari "Allahu Akbar"
  • "Seringnya menyatakan "Allahu Akbar! (Allah Maha Besar!) " selama haji adalah untuk alasan di atas. Haji yang berkah adalah ibadah pada tingkat universal untuk semua orang. Seperti halnya pada hari istimewa seperti festival, seorang  prajurit pergi ke perayaan raja seperti Jenderal di lingkaran jendral, dan menerima nikmat-Nya, dengan cara yang sama, seorang Hajji, tidak peduli seberapa rendahnya, kembali  menuju Pemelihara nya di bawah judul yang maha Pemelihara setiap wilayah bumi, seperti orang suci yang telah melalui semua  tingkatan. Ia dihormati dengan ibadah universal. Yang pasti, derajat universal dominicalitas yang dibuka dengan kunci  haji, dan cakrawala kebesaran Tuhan yang terlihat oleh matanya melalui teleskop, serta lingkup ibadah yang secara bertahap terungkap ke hatinya dan imajinasi melalui kepatuhannya , dan panas, ketakjuban, kekaguman, dan ketakutan akan dominicalitas yang disebabkan oleh tingkat keagungan dan tahap terakhir manifestasi, hanya bisa ditenangkan dengan 'Allah Maha Besar! Allah Maha Besar! ', Dan terungkapnya tingkat yang dilihat atau dibayangkan  hanya dapat dicanangkan oleh itu. Setelah haji, makna ini ditemukan dalam berbagai derajat mulia dan universal dalam sholat Hari Raya ('Idul Adha), doa minta hujan, dan doa doa yang dibacakan pada gerhana matahari dan bulan, dan dalamsholat  berjamaah. Dengan demikian, pentingnya tanda dan peringatan Islam, juga bahkan jika dari kategorikan Sunnah, terletak pada alasan ini "(Badiuzzaman, The words, 16th Word).
  • Haji adalah cara pendidikan karakter
  • Haji, selain merupakan kewajiban, adalah cara pendidikan juga. Haji menetapkan akhlak yang baik dan menghasilkan manfaat sosial banyak yang membawa banyak kebaikan untuk individu dan masyarakat Muslim.
  • Seorang Haji menghadapi banyak kesulitan, kesukaran dan situasi sulit selama periode persiapan, perjalanan dan ritual selama haji yang mengajarkan dia untuk bersabar dan tunduk, lembut dan permisif dan mengajarkan bagaimana mengontrol emosinya dan tetap tenang.
  • Haji adalah perkumpulan tahunan terbesar di dunia
  • Haji adalah seperti sebuah konferensi internasional dengan jutaan umat Islam berkumpul dari berbagai budaya  dan kebiasaan yang berbeda beda. Dalam haji, jamaah belajar untuk fokus pada poin umum dan menjaga persatuan, persaudaraan sejati dan harmoni meskipun terdapat perbedaan dan melihat bahwa tidak ada perbedaan yang  benar-benar nyata dan setiap manusia sama dan sederajat di hadapan Allah. Juga haji adalah kesempatan besar untuk bertemu Muslim dari berbagai negara dan berbagi ide, perasaan, belajar lebih banyak tentang negara-negara Muslim lainnya.
  • Haji memperkuat perasaan persaudaraan universal dan memanifestasikan bahwa Islam adalah agama persatuan dan solidaritas
  • Haji menghapus segala macam perbedaan dan memberikan kesatuan umat Islam. Dua juta orang dari ratusan negara yang berbeda dan bangsa yang berbeda, warna yang berbeda dan budaya yang berbeda berkumpul di tempat yang sama untuk tujuan yang sama, mereka mengenakan pakaian yang sama dan menghadap ke Kiblat yang sama. Mereka berbagi perasaan yang sama dan tindakan yang sama. Mereka menyebut Tuhan yang unik yang sama dan mengikuti langkah-langkah Nabi yang sama (saw). Tidak peduli mereka kaya atau miskin mereka sama dalam kewajiban dan hak. Seluruhnya ini membuat Muslim menyadari bahwa mereka sebenarnya hanyalah saudara satu sama lain atas nama Islam. Jadi, haji membentuk persaudaraan yang tulus di kalangan umat Islam dan jelas memanifestasikan bahwa Islam adalah agama persatuan dan solidaritas.