THIS TOPIC BOX Ketik Topic Disini Contoh DZIKIR atau MAKAN

Translate

Friday 28 August 2015

Rasulullah SAW Melaknat Pelaku Riba

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

  • Makna Hadits Secara Umum
Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan keesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”

Rasulullah SAW  melaknat terhadap para pelaku riba  betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.

Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ; muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah adalah “memerangi riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.

Arti Riba
Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.
  • Definsi yang sederhana dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
  • Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. 

Bisa melalui “bunga” dalam hutang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.

Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba jahiliyah.

Riba Merupakan Dosa Besar
Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba. Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.
Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).

Periodisasi Pengharaman Riba

Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar:

1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta.

Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.

Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; 
 “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.

2. Tapap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.

Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : 
 “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.

3. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.

Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

4. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba. 

Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.

Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

Buruknya Muamalah Ribawiyah 

Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :
  1. Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).
  2. Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
  3. Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).
  4. Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
  5. Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
  6. Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
  7. Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).
Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?

Praktik Riba Dalam Kehidupan

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi dihampir seluruh muamalah maliyah kontemporer, diantaranya adalah pada :

1. Transaksi Perbankan.

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis bunga (interest based). Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan, apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.

Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.

Selain terjadi pada aspek pembiyaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank, sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank. Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.

2. Transaksi Asuransi.
Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama. Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah pertahun. Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).

Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi (konvensional) ini. Diantara yang mengaramkannya adalah Sayid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi. Oleh karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.
3. Transaksi Jual Beli Secara Kredit.
Jual beli kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfruktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh daeler dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.

Belum lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dibayarkan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.
Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini. Cukuplah nasehat rabbani dari Allah SWT kepada kita “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)

CURHAT ITU, BAHAYA TIDAK?

Tanpa disadari sering sekarang kita dengar dengan istilah Curhat (Curahan Hati) yang intinya mengemukakan masalah-masalah pribadi kepada orang lain atau teman yang kita percayai. Masalah-masalah pribadi yang tercurhat tidak lain membuka aib sendiri dan keluarga  sehingga tidak terlepas membicarakan orang pihak ketiga, baik teman, sahabat, suami, mertua, keluarga, tetangga yang akhirnya buah curhat berakhir ghibah yaitu mengunjing, membicarakan orang lain.

Mewaspadai Bahaya Ghibah
Ghibah atau membicarakan orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang ‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena memang setan telah menghiasi perbuatan ini sehingga nampak indah dan menyenangkan. Tahukah anda bahwa Allah mengibaratkan ghibah dengan perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati?
Bani Adam adalah makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan menjadi tempat kesalahan. Demikianlah fakta yang akan dijumpai bila setiap orang jujur akan hakikat dirinya. Ia lemah dari semua sisi: tubuhnya, semangatnya, keinginannya, imannya, dan lemah kesabarannya. Dengan keadaan seperti ini, Allah dengan kemahabijaksanaan-Nya memberikan beban syariat sesuai dengan kesanggupannya. 

Demikian yang dikatakan Asy-Syaikh Sa’di dalam Tafsir-nya.
Terkadang kelemahan ini menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiat. Mendzalimi diri sendiri, orang lain, bahkan mendzalimi Allah. Keadaan demikian banyak terjadi pada manusia khususnya yang tidak mendapat hidayah dan rahmat dari Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)

Banyak sekali faktor yang mendorong manusia untuk berbuat kesalahan atau kemaksiatan. Terkadang dorongan itu datang dari dalam diri sendiri dan terkadang dari luar. Berbahagialah orang yang mengerti kelemahan dirinya.
Abu Ad-Darda berkata: “Termasuk wujud ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui imannya bertambah atau berkurang. Dan termasuk dari barakah ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui darimana setan akan menggelincirkannya.” (Asbab Ziyadatul Iman, hal. 10)

Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan adalah lisan. Sungguh betapa ringan lisan ini digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Serta betapa berat untuk diajak berdzikir kepada Allah. Demikan hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu Hatim: “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui asin atau tidaknya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan sangat tanggap pula bila mata melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah, lidah itu tak bertulang.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah z)

Namun bukan berarti engkau diam dari suatu kemungkaran dan diam untuk mengucapkan kebenaran. “Setan bisu” itulah gelar dan panggilan seseorang yang diam dari kemungkaran dan tidak mau menyuarakan kebenaran.

Makna Ghibah
Tidak ada penafsiran terbaik tentang makna ghibah selain penafsiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits beliau. Bila ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka tidak akan terlepas dari penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang berbeda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan makna ghibah ini dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah zbahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: 

Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang dia tidak sukai.” Dikatakan kepada beliau: “Bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab: “Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu maka kamu telah mengghibahinya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta.”(Shahih, HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, dan At-Tirmidzi no. 1435)

Ghibah adalah Dosa Besar
Dari keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa makna ghibah adalah menceritakan seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa yang diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas namanya dan tentu saja dosanya lebih besar dari yang pertama.

Ibnu Katsir mengatakan: “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan (dalam hal yang) maslahatnya lebih kuat, seperti dalam jarh dan ta’dil (menerangkan perawi hadits) dan nasehat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika seseorang yang jahat meminta izin kepada beliau untuk bertemu beliau, maka beliau berkata: ‘Izinkan dia, sesungguhnya dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.’ Juga seperti sabda beliau kepada Fathimah binti Qais saat dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan) bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/215)

Ghibah jelas perbuatan terlarang. Bahkan ia termasuk perbuatan dosa besar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram seperti haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Bakrah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

Ketika saya dibawa naik, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga yang dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya:’Hai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah kaum yang telah memakan daging orang lain dan menginjak-injak kehormatan mereka’.” (HR. Abu Dawud no. 4878 dari shahabat Anas bin Malik dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4082 dan dalam Ash-Shahihah no. 533)

Masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa besar.
Kapan Boleh Mengghibah
Al-Imam An-Nawawi berkata:

 “Ghibah dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya.”
Dibolehkah ghibah pada enam perkara:

1. Ketika terdzalimi (dianiaya).
2. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.
3. Meminta fatwa.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau untuk menasihati mereka.
5. Ketika seseorang menampakkan kefasikannya.
6. Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.
(Riyadhus Shalihin, bab “Apa-apa yang diperbolehkan untuk Ghibah”)

Cara Bertaubat dari Ghibah
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah orang yang telah berbuat ghibah tidak harus mengumumkan taubatnya. Cukup baginya memintakan ampun bagi orang yang dighibahi dan menyebutkan segala kebaikannya di tempat-tempat mana dia mengghibahinya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’ (hal. 31). 

Haruskah Meminta Maaf kepada Orang yang Dighibahi?
Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:
Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia harus datang kepada orang tersebut meminta kehalalannya (minta maaf).

Kedua, jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya maka cukup baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan mencabut diri darinya di tempat ia berbuat ghibah.

Al-Qahthani dalam kitab Nuniyyah beliau (hal. 39) menasihati kita:
Janganlah kamu sibuk dengan aib saudaramu dan lalai dari aib dirimu, sesungguhnya yang demikian itu adalah dua keaiban.”

Thursday 27 August 2015

MENGERIKAN DAPAT DOSA RIBA SETELAH KITA MATI ASURANSI KEMATIAN INILAH ORANG YANG SIAL DAN MERUGI

Misalkan Saya baru bayar premi 10jt terus saya meninggal dapat 500jt berarti riba yaa?? dapat dosa ribanya pas kita meninggal ga (tidak) sempet tobat aduh sial banget silau dunia terkena tipu daya iblis sial sial begitu mati kena dosa riba.  SEREM.....!!!!!!!!!!!!!!! (scary)


Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]

Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:

“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]

Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala melarang kita dari perbuatan yang merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi tersebut. Dengan sebab kebiasaan  memakan riba itulah, Allah subhanahu wa ta’ala sediakan adzab yang pedih bagi mereka.

“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” [An-Nisa’: 161]

Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, bahwa praktek riba dengan segala bentuk dan warnanya justru akan berdampak buruk bagi perekonomian setiap pribadi, rumah tangga, masyarakat, dan bahkan perekonomian suatu negara bisa hancur porak-poranda disebabkan praktek ribawi yang dilestarikan keberadaannya itu. Riba tidak akan bisa mendatangkan barakah samasekali. Bahkan sebaliknya, akan menjadi sebab menimpanya berbagai musibah. Apabila ia berinfak dengan harta hasil riba, maka ia tidak akan mendapat pahala, bahkan sebaliknya hanya akan menjadi bekal menuju neraka.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa perekonomian di negara-negara barat sangat maju, rakyatnya makmur, dan segala kebutuhan hidup tercukupi, padahal praktek riba tumbuh subur di negara-negara tersebut? 

Keadaan seperti ini janganlah membuat kaum muslimin tertipu. Allah subhanahu wa ta’ala Dzat yang tidak akan mengingkari janji-Nya telah berfirman (artinya):
“Allah memusnahkan riba dan menumbuh-kembangkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” [Al-Baqarah: 276]

Makna dari ayat tersebut adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memusnahkan riba, baik dengan menghilangkan seluruh harta riba dari tangan pemiliknya, atau dengan menghilangkan barakah harta tersebut sehingga pemiliknya itu tidak akan bisa mengambil manfaat darinya. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan menghukumnya dengan sebab riba tersebut di dunia maupun di akhirat. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Jadi, walaupun harta yang dihasilkan dari praktek riba ini kelihatannya semakin bertambah dan bertambah, namun pada hakikatnya kosong dari barakah dan pada akhirnya akan sedikit. Bahkan, bisa habis samasekali.

Dari sini, benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit.” [HR. Ibnu Majah, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah]

Siapa yang akan bisa selamat kalau Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengumumkan peperangan kepadanya?
Disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa peperangan dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah berupa adzab yang akan ditimpakan-Nya, sedangkan peperangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan pedang. [Lihat Tafsir Al-Baghawi]

Seorang mufassir (ahli tafsir) yang lain, yaitu Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah menyatakan bahwa ayat (yang artinya): “maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian” [Al-Baqarah: 279] bisa mengandung dua pengertian:

Pertama, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka Aku (Allah) akan memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memerangi kalian.
Kedua, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka kalian termasuk orang-orang yang diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni sebagai musuh bagi keduanya. [Lihat An-Nukat wal ‘Uyun]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah pada Tafsir-nya tentang ayat ke-279 dari surat Al-Baqarah di atas menyatakan:

“Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras bagi siapa saja yang masih melakukan praktek riba setelah datangnya peringatan (dari perbuatan tersebut).”

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Barangsiapa yang senantiasa melakukan praktek riba dan dia enggan untuk meninggalkannya, maka seorang imam (pemimpin) kaum muslimin berhak memerintahkannya untuk bertaubat, jika dia mau meninggalkan praktek riba (bertaubat darinya), maka itu yang diharapkan, namun jika dia tetap enggan, maka hukumannya adalah dipenggal lehernya.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Ancaman seperti ini tidak diberikan kepada pelaku dosa besar kecuali pelaku riba, orang yang membuat kekacauan di jalan, dan orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” [Lihat Thariqul Hijratain, hal. 558]

Lebih parah lagi kondisinya jika praktek riba itu sudah menyebar di suatu negeri, dan bahkan masyarakatnya sudah menganggap hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Maka ketahuilah bahwa keadaan seperti ini akan mengundang murka dan adzab Allah subhanahu wa ta’ala

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Jika telah nampak perbuatan zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka sendiri untuk merasakan adzab Allah.” [HR. Al-Hakim dan Ath-Thabarani, dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas c, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah di dalam Shahihul Jami’]

Maka dari itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -dengan penuh belas kasih kepada umatnya- benar-benar telah memperingatkan umatnya dari praktek riba yang bisa menyebabkan kebinasaan, sebagaimana dalam sabdanya:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قُلْنَا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّباَ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang menyebabkan kebinasaan.” Kami (para shahabat) bertanya: “Apa tujuh hal itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “…memakan (mengambil) riba…” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Ancaman bagi yang ikut andil dalam praktek riba
Selain pemakan riba, dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mencela beberapa pihak yang turut terlibat dalam muamalah yang tidak barakah tersebut. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan riba, memberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), juru tulisnya, dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’.” [HR. Muslim]
Mereka semua terkenai ancaman laknat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dengan itu mereka telah berta’awun (tolong menolong dan saling bekerjasama) dalam menjalankan dosa dan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ

“Allah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), dua saksinya, dan juru tulisnya.” [HR. Ahmad, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’]

Dua hadits di atas menunjukkan ancaman bagi semua pihak yang bekerjasama melakukan praktek ribawi, yaitu akan mendapatkan laknat dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yang berarti dia mendapatkan celaan dan akan terjauhkan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.

Hadits berikut sebagai peringatan bagi kita semua dari bahaya dan akibat yang akan dialami oleh pelaku riba di akhirat nanti.

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari shahabat Samurah bin Jundub t, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي 
فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا ؟ فَقَالَ: الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا

“Tadi malam aku melihat (bermimpi) ada dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu keduanya mengajakku keluar menuju tanah yang disucikan. Kemudian kami berangkat hingga tiba di sungai darah. Di dalamnya ada seorang lelaki yang sedang berdiri, dan di bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di tangannya terdapat batu-batuan. Kemudian beranjaklah lelaki yang berada di dalam sungai tersebut. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai, lelaki yang berada di bagian tengah sungai tersebut melemparnya dengan batu pada bagian mulutnya sehingga si lelaki itu pun tertolak kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia hendak keluar, ia dilempari dengan batu pada mulutnya hingga kembali pada posisi semula. Aku (Rasulullah) pun bertanya: ‘Siapa orang ini (ada apa dengannya)?’ Dikatakan kepada beliau: ‘Orang yang engkau lihat di sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.” [HR. Al-Bukhari]

Note:
pada satu masa saat mulai menjelaskan perihal betapa berbahaya riba, ternyata benar selain orang yang mau menjauhi riba dalam perakteknya ada pula sesama muslim yang mencemooh dengan kalimat "udadeh (sudah) jangan suka extrim!"  malah sempet di bilang "jangan jangan lo (kamu) terosis!" hehe buset banget (dahsyat). 

Belum lagi pertanyaan dari non muslim yang memang benar adanya yang tertulis di al quran "ini adalah berjualan alias dagang kenapa jadi riba?"

Ingattlah [Al-Baqarah: 275] Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” 

Wednesday 26 August 2015

JANGAN RASA TAKUT PADA JIN / SETAN (MAHLUK) MELEBIHI KEPADA ALLAH

Saat ini ada banyak orang yang merasa takut dengan setan yang melebihi rasa takutnya kepada Tuhan.  Ketika berbuat maksiat banyak orang yang tidak merasa bersalah, namun ketika merasa ada makhluk halus yang mengganggu maka akan timbul rasa ketakutan yang amat sangat.  

Ketika terjadi gangguan makhluk gaib di rumah atau tempat tinggal, maka banyak orang yang tak segan-segan memanggil jasa pengusir hantu yang bertarif mahal sekali main.

Padahal pada dasarnya jin yang jahat alias setan memiliki rasa takut yang amat sangat kepada orang yang beriman kepada Allah SWT.  Orang yang beriman akan selalu dilindungi oleh Tuhan dan juga para malaikatNya.  Jin, setan, hantu, spirit, khadam, dan teman-teman adalah makhluk yang sama sekali tidak berdaya di hadapan Allah SWT.  Image menyeramkan dan kuat pada jin terhadap manusia mungkin hanya sebatas imajinasi manusia yang hanya berlaku untuk orang-orang yang tidak diberikan perlindungan oleh Tuhan.

Cara Mengusir Hantu, Setan, Jin Agar Keluar Dari Dalam Rumah Secara Mudah

Jika kita merasa khawatir dengan keberadaan makhluk halus jahat yang ada di dalam rumah kita maka kita bisa melakukan beberapa cara untuk mengusirnya keluar rumah.  Secara fisik kita tidak akan pernah bisa menangkap dan mengusir keluar jin jahat yang ada di dalam rumah karena hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melakukannya atas seizin Allah SWT.  Hanya cara-cara berikut ini yang mungkin bisa mengeluarkan jin-jin jahat yang berada di rumah kita, yaitu :

1. Berdo'a Meminta Perlindungan dari Allah SWT dari Setan yang Terkutuk
2. Rajin Membaca Al-Quran Surat Al-Baqoroh di Rumah
3. Sering Membaca Basmalah Ketika di Rumah Baik Ada Gangguan atau Tidak
4. Cuek dan Tidak Merasa Takut Saat Diganggu Setan Tetapi Hanya Kepada Allah SWT
5. Menutup Semua Pintu Sambil dengan Menyebut Nama Allah SWT ( contoh Basmalah )

Dasar Dalil Cara Mengusir Setan, Jin, Hantu, Khodam, Spirit, dan Kawan-Kawan

Hadist Nabi Muhammad SAW HR. Muslim 780, At-Turmudzi 2877 :
“Jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah di dalamnya.”

Hadist Nabi Muhammad SAW HR. Ahmad 5:95 dan Abu Daud 4982 dan dishahihkan al-Albani :
“Janganlah kamu ucapkan ‘celakalah setan”, karena jika kamu mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi,  ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.”

Hadist Nabi Muhammad SAW HR. Bukhari 3304, Muslim 2012 dan yang lainnya :
“Tutuplah pintu, dan sebutlah nama Allah. Karena setan tidak akan membuka pintu yang tertutup (yang disebut nama Allah).”

Dari beberapa petunjuk cara mengganyang jin, setan, dan kawan-kawan di atas kita bisa merasa tenang dan tidak takut lagi pada tipu daya setan.  Mau dibilang kuat, seram, sadis, keji, culas, dan lain sebagainya kita tidak gentar lagi sedikit pun.  

Tidak ada lagi toleransi lagi pada jin yang mengganggu kita.  Semua jin yang jahat (setan) dapat kita Usir tanpa harus menggunakan jasa  dukun, paranormal, conjurer, orang pintar, eyang, mbah, dan kawan-kawan.  Cukup diri kita sendiri memohon perlindungan dari Allah SWT semua gangguan setan dapat diatasi dengan baik.

PUASA

Menjelaskan prihal Puasa 

 Menentukan Awal Puasa Disini akan disebut segala sebab-sebab yang mewajibkan melakukan puasa Ramadhan: Ru’yatul Hilal: Maka adalah: 

1 Setiap orang yang melihat bulan dengan matanya sendiri, maka wajib atasnya berpuasa, walaupun Sabit Ru’yah (terlihat bulan sabit) malam itu atau tidak. Begitupun bagi orang yang tidak melihat bulan, jika ia mengi’tiqadkan (meyakini diri) akan kebenaran orang yang melihat bulan itu, sekalipun yang melihatnya itu orang yang bukan adil, maka wajib atasnya berpuasa.

 2 Jika orang hanya menyangka (mengira-ngira) akan kebenaran orang yang melihat bulan itu, maka boleh baginya puasa.

3 Jika ia syak (meragukan) akan kebenaran yang melihat bulan itu, maka tidak diharuskan baginya berpuasa. Hisab (hitungan): Berpuasa dengan memakai Hisab (perhitungan) dalam menetapkan bulan Ramadhan, atau bulan Sya’ban atau lainnya, maka tidak mengharuskan orang berpuasa, melainkan jika yang menghisab itu (mengitung itu) orang yang telah pandai ilmunya dalam ilmu Hisab Taqwim yaitu ilmu yang mempelajari akan perjalanan Matahari, Bulan, Buruj dan munzalah, yang berada keduanya itu pada malam ru’yah atau pada malam adanya bulan, serta ada berapa derajat didalam buruj-buruj atau munzalah dan berapa derajat antara keduanya.

1 Maka apabila seseorang mengetahui akan sekalian ilmu itu, disebutlah orang itu Hasib (ahli menghitung), boleh bagi dirinya sendiri berpuasa dengan hisab taqwimnya, itupun tidak menjadi puasanya itu pada bilangan bulan Ramadhan, Pada Syekh Ibnu Hajar di tahfid, melainkan jadi puasanya itu puasa sunnah saja.

2 Jika seseorang kepandaian ilmu hisabnya hanya sekedar taqlid (garis besar) saja, atau disebut Ahjaza Dabawuda atau dengan almunka, padahal ia tidak mengetahui akan taqwim seperti yang tersebut di atas, maka tidak boleh dan tidak sah baginya berpuasa dengan hisabnya itu. Karena bukan seperti itu yang dinamakan Hasib (ahli hitung) oleh kalangan ulama. Hisab dan Ru’yah:
Jika satu orang melihat bulan Sya’ban dengan matanya sendiri atau ia mengi’tiqadkan (berkeyakinan) akan kebenaran orang yang melihatnya, sekalipun orang itu bukan adil; maka apabila cukup hitungan 30 (tigapuluh) hari akan bulan Sya’ban, wajiblah bagi keduanya itu berpuasa sekalipun orang lain kebanyakan belum berpuasa. Dan hukum ini berlaku hanya kepada orang tersebut saja. Tetapi jika hanya sekedar mendapat keterangan dari salah satu orang yang melihat bulan itu, maka tidak harus baginya berpuasa.

Penentuan Puasa Secara Umum: Sedangkan hukum berpuasa secara umum pada sekalian orang adalah:

1 Jika bulan Sya’ban itu dilihat oleh banyak orang pada malam 30 (tigapuluh) Rajab. Maka apabila telah cukup 30 (tigapuluh) hari dari bulan Sya’ban, wajiblah hukumnya berpuasa bagi sekalian orang pada negeri itu, sekalipun tidak terlihat bulan Ramadhan atau tidak ada Qadhi Syar’i (orang atau lembaga yang menerima akan suatu kesaksian misalnya Departemen Agama) pada negeri itu.

2 Jika telah cukup 30 Sya’ban, 30 Kamal Rajab dan dari ru’yahnya pula yang sabit pada orang-orang banyak adanya, maka wajib berpuasa secara umum jika pada malam 30 Sya’ban dapat terlihat bulan Ramadhan oleh orang banyak.

3 Jika pada malam 30 Rajab atau 30 Sya’ban atau 30 Ramadhan tidak banyak orang yang melihat bulan, melainkan hanya dua atau tiga orang, kemudian beberapa orang itu bersaksi bahwa mereka mengaku dengan sebenar-benarnya melihat bulan, maka syarat memberlakukan puasa secara umum adalah seperti yang disebut oleh sebahagian besar ulama di dalam kitab yang mu’tamad, bahwa saksi-saksi itu harus lengkap padanya syarat-syarat adil, dan syarat-syarat mar’ut, dan diterima akan saksi-saksi itu oleh qadhi syar’i, yaitu yang sempurna baginya ruku-rukun qadhi dan syarat-syaratnya.

 Jika tidak sempurna baginya yang demikian itu, atau tidak sempurna bagi saksi-saksi akan syarat-syarat adil dan syarat-syarat mar’ut, maka tidak wajib dan tidak harus bagi umum sekalian berpuasa, malainkan hanya bagi orang-orang yang mengi’tiqadkan (berkeyakinan) kebenaran akan saksi-saksi itu, maka wajib baginya berpuasa, itupun jikalau tidak didapat keterangan yang menyalahkannya (membantah). Syarat-syarat adil dan syarat-syarat mar’ut maka telah tersebut sekaliannya itu di dalam segala kitab yang mu’tamad, dan syaratnya terlalu banyak.

Sebahagian daripada syarat-syarat adil adalah bahwa orang tersebut memiliki sikap sebagai berikut:

1. Selalu memerintahkan akan yang wajib, dan mencegah atas perbuatan yang haram.
2. Tidak pernah mendengarkan bunyi-bunyian yang haram.
3. Mencegah orang lain meninggalkan shalat.

Adapun syarat-syarat Mar’aut adalah:

1. Orang tersebut tidak pernah meninggalkan Shalat Sunnah.
2. Tidak pernah jatuh akan bulu jenggotnya. Apakah ada manusia yang memiliki syarat-syarat seperti ini pada jaman sekarang? Apalagi ditambah dengan syarat-syarat yang lain, maka hendaknya diketahui akan syarat-syarat yang lain itu dan dapat dilihat di dalam kitab Fiqih yang Mu’tamad, yaitu bagi mereka yang mengetahui akan bahasa arab dan sudah lama waktunya ia mengaji (menuntut ilmu agama) pada guru-guru yang mengerti.
 Maka nanti akan di dapat keterangan baginya apakah ada atau tidak di negerinya akan saksi yang memiliki syarat-syarat saksi serta rukun-rukun qadhi dan syarat-syaratnya. Bilamana hendak mengetahui akan yang demikian itu maka dapat dibaca pada kitab yang dinaqol dari kitab-kitab yang mu’tamad sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami, yaitu pada kitab Taudhihul Adillah, atau kitab Qauninul Syar’iyyah. 

Syarat-syarat Sahnya Puasa Syarat-syarat Shahnya berpuasa adalah:

1. Islam.
2. Niat setiap malam pada puasa wajib seperti Ramadhan atau puasa wajib lainnya. Jika puasa sunnah maka afdhalnya niatnya pada malamnya, tetapi boleh niatnya sebelum tergelincir Matahari dan belum makan dan minum. Lafaz niat Puasa Ramadhan yang aqmal adalah: نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ أَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَّهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى. Artinya: Sahjaku puasa esok hari daripada menunaikan fardhu bulan Ramadhan pada ini tahun Lillahi Ta’ala. (niat ini dibaca di dalam hati)
3. Mencegah diri daripada sengaja makan dan minum, serta memasukkan sesuatu barang atau benda kedalam lubang badannya.
4. Mencegah diri daripada sengaja muntah.
5. Mencegah diri daripada jima’ atau pekerjaan lainnya yang mengeluarkan mani. * Apabila makan atau minum atau jima’ oleh karena ia lupa, tidak menjadi batal puasanya. * Tetapi jika ia ingat pada tengah-tengah pekerjaan yang demikian itu maka wajib segera diberhentikan. * Tidak batal puasa jika menelan ludah yang tidak dicampur apa-apa seperti riak/lendir atau darah atau bekas-bekas sisa makanan, atau lainnya. * Adapun merokok atau menyisik tembakau maka membatal-kan puasa karena termakan sedikit diludahnya yang bercampur dengan sedikit bekas-bekas benda itu.
6. Suci daripada Haidh (menstruasi) dan Nifas (mengeluarkan darah melahirkan) pada seharian berpuasa itu.
7. Berakal pada seharian berpuasa itu. * Apabila mendapat haid (mens) atau nifas (keluar darah) sekalipun sedikit dan waktunya sebentar saja pada hari berpuasa itu, maka batal puasanya. * Demikian pula jika mendapat hilang akal seperti gila atau mabuk daripada minuman atau makanan maka batal puasanya sekalipun hilang akal atau mabuknya itu hanya sebentar saja. * Adapun mabuk yang diuzurkan oleh Syara’

Misalnya, pada malamnya (atau diwaktu sahur) ia makan suatu makanan yang dia tidak mengetahui bahwa makanan itu memabukkan. Jika tiba-tiba pada siang harinya ia menjadi mabuk, maka tidak menjadi batal puasanya, jika mabuknya tidak terus-menerus pada seharian itu.

Demikian pula jika mendapat penyakit pitam (ayan), jika tidak terus-menerus pada seharian itu, maka tidak batal puasanya.

Hari-hari yang diharamkan berpuasa: 

1. Tidak Sah dan haram hukumnya orang yang berpuasa pada dua hari raya yaitu hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha.
2. Tidak Sah dan haram orang yang berpuasa pada hari-hari Tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 daripada bulan haji atau Zulhijjah.
3. Haram hukumnya mengawali puasa pada hari yang syak (ragu-ragu), yaitu pada hari tanggal 30 Sya’ban jika ada yang mengabarkan bahwa ada orang melihat bulan tetapi tidak cukup syarat qabulnya.
 Sebagaimana yang tersebut maka bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَ أَ بَا الْقَاسِمِ. Artinya: Barangsiapa berpuasa dihari Syak maka niscaya bermaksiat olehnya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

4. Haram hukumnya berpuasa sunnah yang di mulai dihari 16 bulan Sya’ban hingga akhir bulan Sya’ban.

Syarat-syarat Wajib Berpuasa Syarat-syarat Wajib Berpuasa:
1. Islam
2. ‘Aqil Balligh (berakal dan dewasa)
3. Kuasa. Tidak wajib qadha puasa atas seorang kafir jika masuk Agama Islam,
4. Begitu pula kepada orang gila bila sudah sembuh dan juga anak-anak jika telah balligh (dewasa).

1 Wajib atas seorang Bapak dan Ibu untuk memerintahkan anak-anaknya untuk berpuasa ketika anaknya itu telah berumur 7 tahun, dan boleh dipukul dengan pukulan yang tidak melukai bilamana anak tersebut tidak mau berpuasa padahal anak itu telah berumur 10 tahun, itupun jika anak-anak tersebut kuasa untuk berpuasa.
2 Tidak wajib berpuasa bagi orang yang tidak kuasa berpuasa dikarenakan sangat tuanya atau karena terkena suatu penyakit yang tidak dapat diharapkan lagi untuk kesembuhannya.
3 Tetapi Wajib atas keduanya itu untuk mengeluarkan fidyah setiap hari 1 (satu) mud selama ia tidak berpuasa, yaitu setengah gentong fitrah (2,5 kg) yang diberikan kepada fakir miskin seperti zakat fitrah.
4 Orang yang sakit yang tidak sanggup berpuasa atau orang yang sedang berlayar (musafir) sejauh dua marhalah (90 KM) maka boleh bagi keduanya itu tidak berpuasa, tetapi wajib qadha’ di kemudian hari, adapun jika ia tidak mengqadha’ hingga bertemu lagi pada bulan Ramadhan berikutnya, maka wajib bagi keduanya itu bersama-sama dengan qadha’ puasanya adalah membayar fidyah atas tiap-tiap hari yang tidak berpuasa 1 (satu) mud. Jika orang tersebut senantiasa sakit terus-menerus hingga meninggal dunia, maka tidak wajib suatu apapun.

Jika orang tersebut telah sembuh dan sehat yang membolehkan dia membayar qadha’ puasanya, tapi tidak juga dia membayar qadha’nya itu hingga dia meninggal dunia, maka wajib padanya tiap-tiap satu hari tidak berpuasa adalah 1 (satu) mud. Pasal Ke limapuluh empat Makruh Dalam Berpuasa Makruh (dibenci Allah SWT) atas orang yang berpuasa memakai wangi-wangian, sifat mata, bersugi (sikat gigi) apabila sudah gelincir matahari.

Sunnah-Sunnah Dalam Berpuasa Sunnah-sunah dalam berpuasa, yaitu:
1. Membaca kitab suci Al-Qur’an dengan memakai adab dan tatacaranya.
2. Sunnah berI’tikaf (berdiam) di dalam Masjid.
3. Menyegerakan berbuka puasa jika yakin sudah masuk Maghrib.
4. Mengakhirkan waktu sahur sebelum masuk waktu imsak.
5. Sunnah berbuka puasa dengan kurma.
6. Sunnah membaca do’a ini setelah berbuka puasa

: أَللَّـهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ، ذَهَبَ الظَمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ، وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَلَى. Artinya: Ya Allah Tuhanku bagi Engkau aku berpuasa dan atas rizki Engkau aku berbuka puasa, telah berlalu rasa dahaga dan telah basah selurut urat-urat badan, dan telah tetap ganjaran pahalanya Insya Allah Ta’ala.

Tuesday 25 August 2015

MENGENAI ZAKAT DAN MACAM MACAM ZAKAT


Zakat ada 7 (tujuh) macam, yaitu:

1. Zakat Binatang Ternak.
2. Zakat Buah-buahan dan Tumbuh-tumbuhan.
3. Zakat Mas dan Perak.
4. Zakat Dagangan/Perniagaan.
5. Zakat Rakaz / Harta Terpendam.
 6. Zakat Ma’din.
7. Zakat Fitrah.

Zakat Binatang Binatang yang wajib dizakatkan daripadanya ada 3 (tiga) macam dan memenuhi syarat, yaitu:

1. Onta
2. Lembu (sapi) atau Kerbau.
3. Kambing.

1.Untuk Zakat Onta, tidak dibahas disini.
2. Zakat Lembu (sapi) atau Kerbau:

Nisabnya yakni batas kewajiban mengeluarkan zakatnya, yaitu:
* Jika telah cukup jumlahnya 30 (tiga puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 1 (satu) ekor daripada anaknya yang telah berumur 1 (satu) tahun.
* Jika telah cukup jumlahnya 40 (empat puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 1 (satu) ekor daripada anaknya yang telah berumur 2 (dua) tahun.
* Jika telah cukup jumlahnya 50 (lima puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 1 (satu) ekor daripada anaknya yang telah berumur 3 tahun.
* Jika telah cukup jumlahnya 60 (empat puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 2 (dua) ekor daripada anaknya yang telah berumur 1 (satu) tahun.
* Demikian seterusnya kelipatan 30, ditambah satu ekor.
3. Zakat Kambing: Nisabnya, yakni batas kewajiban mengeluarkan zakatnya yaitu:
* Jika telah cukup jumlahnya 40 (empat puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 1 (satu) ekor daripada kambing itu yang telah berumur 2 (dua) tahun, adapun jika dari jenis kambing kibas maka yang umurnya 1 (satu) tahun.
* Jika telah cukup jumlahnya 120 (seratus duapuluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 2 (dua) ekor.
* Jika telah cukup jumlahnya 201 (duaratus satu) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 3 (tiga) ekor.
* Jika telah cukup jumlahnya 400 (empat ratus) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 4 (empat) ekor.
* Demikian seterusnya setiap bertambah kelipatan seratus, maka ditambah zakatnya 1 (satu) ekor.

Syarat wajib Zakat Binatang:
1. Waktunya telah cukup setahun lamanya.
2. Makanannya didapat daripada angonan (menggembala) yang tidak membeli.
3. Binatang itu tidak dipakai untuk bekerja apapun (bajak sawah dll).

Zakat Buah-buahan & Tumbuh-tumbuhan Yang diwajibkan mengeluarkan zakat buah-buahan adalah adalah Buah Korma dan Kismis (anggur), adapun tumbuh-tumbuhan yang diwajibkan mengeluarkan zakatnya adalah tumbuh-tumbuhan yang dimakan untuk kehidupan seperti gandum, terigu, jagung dan padi, serta kacang-kacangan.
Adapun nisab yang demikian itu adalah lima wisik, yaitu
sekedar tiga di atas gantung fitrah, yaitu sembilan pikul enam puluh lima kati bersih daripada kulit.

Adapun bagi zakat padi maka nisabnya dua kali, yaitu sembilan belas pikul tigapuluh kati.
 Bagi tumbuhan yang airnya didapat dengan tidak memerlukan usaha/disiram, yang wajib dikeluarkan yaitu satu bahagian daripada sepuluh bahagian, atau yang disebut ‘usyur (sepersepuluhnya atau sepuluh persen)

Sedangkan jikalau tumbuhannya dengan disiram atau memerlukan ongkos (biaya) untuk membeli air maka zakatnya adalah didalam duapuluh bahagian dikeluarkan satu bagian, atau yang disebut nisful ‘usyur (seperduapuluh atau lima persen) Yang wajib dikeluarkan itu dihitung dari seberapa dapatnya dari sawahnya itu, bukan dihitung dari hasil bersih setelah membayar cukai (pajak) dan upah memotong padi.

Zakat Mas dan Perak Nisabnya zakat Mas adalah duapuluh misqal, yaitu berat tiga rial ditambah dengan setengah suku.

Nisabnya zakat Perak adalah beratnya duaratus dirham, yaitu limapuluh delapan rupiah zaman sekarang ditambah setengah rupiah. Yang wajib dikeluarkan daripada keduanya itu yaitu satu bahagian daripada empat puluh bagian,

yaitu yang disebut rubu’ul ‘asyro (seper empatpuluh atau 2,5 persen), dan cukup setahun dari waktu memilikinya, maka wajib dikeluarkan zakatnya dan sebagaimana lebihnya Mas dan Perak itu daripada nisabnya, maka dikeluarkan zakatnya pula sekedarnya. Pasal Ke empatpuluh enam Zakat Dagangan/Perniagaan Zakat perdagangan atau zakat tijrah,
yaitu apabila telah cukup satu tahun dari mulai berdagang/berusaha tiba-tiba di akhir tahun itu telah cukup nishabnya, yaitu seperti nishabnya zakat perak, maka wajib ditaksir atas dagangan itu kemudian dikeluarkan zakatnya dengan uang perak dalam empat puluh dikeluarkan satu (2,5 persen) seperti zakat perak.
Adapun pada permulaan dagang maka tidak disyaratkan cukup nishabnya. Pasal Ke empatpuluh tujuh Zakat Rakaz / Harta Terpendam Harta terpendam daripada Mas dan Perak yang dipendam oleh orang-orang dahulu sebelum Nabi Muhammad Sallallohu ‘Alaihi Wasallam, jika didapat (ditemukan) harta itu dan cukup akan nishabnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya dengan segera, yaitu Khumus (seperlima atau 20 persen) yakni satu bahagian dari lima bahagian. Pasal Ke empatpuluh delapan Zakat Ma’din Zakat Ma’din yaitu zakat Emas dan Perak yang didapat dari dalam tanah menurut asal kejadiannya (dari hasil tambang).

Maka apabila didapat daripadanya mencukupi nishabnya, wajib atasnya mengeluarkan zakatnya yaitu satu bahagian dari empatpuluh bahagian yakni rubu’ul ‘asyro (seper empatpuluh atau 2,5 persen). Pasal Ke empatpuluh sembilan Zakat Fitrah Zakat Fitrah adalah wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, yang mendapatkan masa sebelum waktu maghrib dan sesudahnya Maghrib di malam hari raya syawwal (Malam Hari raya Idhul Fitri).
Yang dikeluarkannya adalah yang melebihi daripada makanan yang dimakan wajib nafkahnya atas dirinya pada malam hari raya itu beserta hari rayanya. (lebih kurang 2,5 kg makanan pokok). Wajib atas seorang suami membayar zakat fitrah istrinya dan anak-anaknya yang belum balligh, begitu juga membayarkan zakat fitrah bagi ayah-ibunya yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah. Zakat Fitrah boleh dibayar pada awal bulan Ramadhan, tetapi afdhalnya adalah pada pagi hari raya syawwal (pagi Hari Raya Idhul Fitri) sebelum melakukan shalat Iedh, atau pada malam hari raya itu.

Makruh hukumnya jika dita’khirkan hingga selesai shalat Iedh. Haram hukumnya jika dita’khirkan hingga waktu maghrib pada hari raya itu, sehingga menjadi qadha’. Pasal Ke limapuluh Yang Berhak Menerima Zakat Dari tujuh macam zakat yang tersebut, maka wajib
 diberikan zakat itu kepada orang-orang yang telah ditentukan dan diperintahkan oleh Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an akan memberi zakat kepada mereka itu, yang tersebut didalam
 Firman Allah: إِنَّمَا الصَّدَ قَـتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسَـكِيْنِ وَالْعَا مِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَ لَّفَةِ قُلُوْ بُهُمْ وَفِ الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِى سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ.

Bahwasanya segala zakat itu itu maka wajib diberikan kepada segala fakir dan miskin dan bagi orang yang mengurusnya, dan bagi segala mu’allaf kafir masuk islam, dan bagi budak ‘abid yang buat tebus dirinya daripada tuannya, dan bagi orang yang menanggung hutang, dan bagi orang yang di dalam sabillillah, dan bagi orang yang musafir minta zakat.
Jika telah diketahui daripada ini ayat Al-Qur’an bahwasanya yang mempunyai hak yaitu delapan macam itu, dan yang ada dinegeri kita dari delapan macam itu hanya lima macam, yaitu fakir-fakir, dan miskin-miskin, dan mu’allaf, dan orang yang menanggung hutang, dan orang yang musafir minta zakat.

Maka dengan perintah Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an atas wajib memberi zakat bagi mereka itu, maka tidak boleh dan tidak syah zakat itu diberikan kepada lain-lain orang yang bukan iya termasuk daripada delapan macam yang tersebut. Adapun aturan membagi zakat kepada mereka itu maka adalah zakat itu dibagi dengan seberapa bilangan macam-macam yang ada daripada delapan macam itu, dan tiap-tiap satu bahagian dibagi satu macam dan jikalau boleh dapat rata maka diberi pada sekalian itu tiap-tiap macam.

Adapun jika tidak boleh dapat rata maka diberi pada tiap-tiap macam pada tiga orang saja. Wajib niat atas yang mengeluarkan zakat pada masa ia memberikan pada yang mempunyai hak zakat, atau kepada wakilnya yaitu dengan mengatakan di dalam hatinya dan sunnah ber lafaz “Sahjaku mengeluarkan Zakat Hartaku atau Zakat Fitrahku Lillali Ta’ala”

Monday 24 August 2015

10 MACAM BUHUR BERIKUT BAHAN RACIKANNYA DAN CIRI KEASLIANNYA

1. Buhur Maghribi Buhur ini terbuat dari bahan kayu gaharu dan kayu cendana yang dihaluskan dengan campuran minyak khusus. Warnanya agak hitam legam dan agak basah aromanya agak menyengat dan bila dibakar asapnya berwarna putih kehijauan untuk memilih buhur ini haruslah teliti dan berhati-hati karena buhur ini telah beredar 100 macam lebih dengan bahan berbeda tetapi namanya berbeda. Sebagai buhur berkelas, kita harus tahu mana yang bisa dipakai dan mana yang tidak.
 
Cirinya, cobalah ambil sedikit buhur tersebut, dan gosokkan pada kedua telapak tangan Anda. Apabila buhur tersebut berminyak serta mengandung noda kecoklatan,maka itulah yang harus diplih.

2. Buhur Apel Jin Madat ini tebuat dari ampas madu lebah lanceng yang dicampur dengan minyak khusus, warnanya hitam bercampur putih kekuning- kuningan. Apabila dibakar baunya lembut namun cepat menyebar ke seluruh ruangan dan asapnya berwarna hitam keputihan.
 
Untuk meneliti asli tidaknya Apel Jin tersebut yaitu dengan cara: apabila dipegang terasa lengket dan sulit dilepaskan, apabila ditekan akan terasa lembek dan tidak mudah patah atau putus dan apabila ditempelkan pada sehelai kain bekasnya tidak akan luntur.

3. Buhur Ja’faron Terbuat dari daun pohon salwa yang dikeringkan. Daun tersebut nantinya ditumbuk dan mengeluarkan getah berwarna merah seperti warna darah dan sudah mengandung aroma wangi secara alami. 
Buhur ini tidak bisa ditiru dan diracik oleh orang-orang Indonesia karena pohonnya hanya tumbuh di sekitar gurun pasir dan hanya terdapat di daerah Arab Saudi, Yaman, Turki dan sekitarnya.

4. Buhur Ambar Buhur ini terbuat dari serutan pohon kurma ambar yang dicampur denagn minyak zaitun serta sepuluh minyak khusus lainnya. 

Warnanya merah muda dan agak kering. Bila dibakar asapnya sedikit, namun aromanya sangat merebak lebut serta enak dihirup. Buhur ini sangat disukai oleh para sahabat nabi Saw. karena kelembutannya seta wanginya yang sangat khas. Untuk mendapatkan Buhur Ambar sangat lah susah , dikeranakan harganya sepuluh kali lebih mahal dari buhur lainnya (bisa samapai jutaan rupiah).
 
5. Buhur Sulthon Terbuat dari serutan kulit kayu cendana yang dicampur dengan serbuk menyan arab. 
Warnanya hitam keputihan, aromanya khas bau kemenyan dan mudah dikenali.
 
6. Buhur Malik atau Al-Mulku Bahannya dari kayu setinngi serta daun sirih yang dihaluskan dengan campuran minyak cendana merah, aromanya sedikit menyengat dan berwarna hitam kemerahan. Bila dibakar asapnya berwarna putih hitam atau bisa semu hijau.

Ciri yang akurat untuk memilih buhur ini adalah bila dipegang terasa dingin.

7. Buhur Al-Yamani Buhur ini berasal dari negara Yaman. Daun terbuat dari 7 getah pohon yang berbeda, warnanya hitam dan mengandung butiran kristal merah. Baunya sangat lembut dan tidak menyengat hidung.

Ciri dari buhur ini adalah bila kita menghirup baunya seolah ingin batuk, bersin atau gatal tenggorokan.
8. Buhur Salwa Terbuat dari kayu salwa yang dicampur dengan cendana merah atau disebut juga minyak Sayidina Ali. Warnanya ada yang merah juga ada yang hitam.
 
Ciri dari buhur ini adalah bila dipegang akan meninggalkan warna yang membekas di tangan.
 
9. Buhur Al-Udud Buhur ini tidak banyak keberadaannya karena bahannya yang sangat sulit dicari yaitu pohon attakif dan hanya ada di negara Baghdad (Irak). 
Warnanya putih cream dan bentuknya seperti pasta. Buhur ini sangat disukai sekali oleh seluruh bangsa Gaibiyah.
 
10. Buhur Fathul Jin Buhur ini dikhususkan sebagai sarana penghubung bangsa jin. Warnanya putih dan berbentuk kristal. Bila dibakar asapnya sangat banyak dan berwarna putih bersih.
 
Untuk membuktikan keaslian buhur ini celupkan butiran kristal putih pada segelas air tawar. Bila butiran tersebut berwarna seperti warna air berarti buhur itulah yang asli.
Karena banyak buhur yang berbentuk butiran kristal namun terbuat dari bahan kimia yang tidak bisa berubah warna.

Benarkah Nabi Muhammad Saw. Menyukai Bau Wewangian (Menyan)? Membakar dupa wangi ketika berdzikir, membaca al-Qur'an, berada di majlis ilmu maka wangi- wangian (tathayyub) hukumya sunnah berdasarkan senangya Nabi Muhammad Saw. pada sesuatu yang harum dan nabi senang dengan wewangian. Bliau Saw. sering memakainya dan mendorong para sahabat untuk menggunnakanya.
(kitab Bulghat ath-Thullab halaman 53-54)
. ﺔﻠﺌﺴﻣ ﻕﺍﺮﺧﺍ ﺝ ﺭﻮﺨﺒﻟﺍ ﺪﻨﻋ ﺮﻛﺫ ﻪﻠﻟﺍ ﻭ ﻩﻮﺤﻧ ﻥﺃﺮﻘﻟﺍ ﺓﺀﺍﺮﻘﻛ ﺲﻠﺠﻣ ﻭ ﻪﻟ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﻰﻓ ﻞﺻﺍ ﺔﻨﺴﻟﺍ ﻦﻣ ﺚﻴﺣ ﻥﺍ ﻰﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﺐﺤﻳ ﻢﻠﺳ ﺐﻴﻄﻟﺍ ﺢﻳﺮﻟﺍ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﻭ ﺐﻴﻄﻟﺍ ﺐﺤﻳ ﺎﻬﻠﻤﻌﺘﺴﻳ ﻭ ﺍﺮﻴﺜﻛ ﺔﻐﻠﺑ) ﺏﻼﻄﻟﺍ ﺹ 53-54 )
 
Membakar dupa atau kemenyan ketika berdzikir pada Allah dan sebagainya seperti membaca al- Qur'an atau di majlis-majlis ilmu, mempunyai dasar dalil dari al- Hadits yaitu dilihat dari sudut pandang bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. menyukai bau wangi dan menyukai minyak wangi dan beliau pun sering memakainya. (Bulghat ath-Thullab halaman 
53-54). ﻝﺎﻗ ﺾﻌﺑ ﺎﻨﺑﺎﺤﺻﺃ ﻥﺃ ﺐﺤﺘﺴﻳﻭ ﺮﺨﺒﻳ ﺪﻨﻋ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻦﻣ ﻦﻴﺣ ﺕﻮﻤﻳ ﻪﻧﻻ ﺎﻤﺑﺭ ﺮﻬﻇ ﻪﻨﻣ ﺊﺷ ﻪﺒﻠﻐﻴﻓ ﺭﻮﺨﺒﻟﺍ ﺔﺤﺋﺍﺭ

Sahabat-sahabat kita (dari Imam Syafi’i) berkata: Sesungguhnya disunnahkan membakar dupa di dekat mayyit karena terkadang ada sesuatu yang muncul maka bau kemenyan tersebut bisa mengalahkan/menghalanginya. (Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab juz 5 halaman 160).

HADITS MENGENAI BAKARAN WANGI MENYAN GAHARU DLL

Kemenyan dizaman Nabi dan Salafush Shaleh juga menjadi bagian dari beberapa ritual umat Islam. Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat sendiri sangat menyukai wangi-wangian, baik yang berasal dari minyak wangi hingga kemenyan, sebagaimana disebutkan didalam berbagai hadits. Misalnya hadits shohih riwayat Imam Muslim dan Imam Al-Bukhari berikut ini : ِﻑﺎَﻧ ْﻦَﻋ ،ٍﻉ :َﻝﺎَﻗ َﻥﺎَﻛ ُﻦْﺑﺍ َﺮَﻤُﻋ ﺍَﺫِﺇ» َﺮَﻤْﺠَﺘْﺳﺍ َﺮَﻤْﺠَﺘْﺳﺍ ،ِﺓَّﻮُﻟَﺄْﻟﺎِﺑ ٍﺓﺍَّﺮَﻄُﻣ َﺮْﻴَﻏ ،ٍﺭﻮُﻓﺎَﻜِﺑَﻭ ُﻪُﺣَﺮْﻄَﻳ َﻊَﻣ «ِﺓَّﻮُﻟَﺄْﻟﺍ َّﻢُﺛ :َﻝﺎَﻗ ﺍَﺬَﻜَﻫ» َﻥﺎَﻛ ُﻝﻮُﺳَﺭ ُﺮِﻤْﺠَﺘْﺴَﻳ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ

Dari Nafi’, ia berkata, "Apabila Ibnu Umar mengukup mayat (membakar kemenyan), maka beliau mengukupnya dengan kayu gaharu yang tidak dihaluskan, dan dengan kapur barus yang dicampurkan dengan kapur barus.
Kemudian beliau berkata, “Beginilah cara Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam ketika mengukup jenazah (membakar kemenyan untuk mayat). (HR. Muslim) ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ َﻲِﺿَﺭ ُﻪَّﻠﻟﺍ ،ُﻪْﻨَﻋ َﻝﻮُﺳَﺭ َّﻥَﺃ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ،َﻢَّﻠَﺳَﻭ :َﻝﺎَﻗ " ُﻝَّﻭَﺃ ٍﺓَﺮْﻣُﺯ ُﻞُﺧْﺪَﺗ َﺔَّﻨَﺠﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ِﺓَﺭﻮُﺻ َﺔَﻠْﻴَﻟ ِﺮَﻤَﻘﻟﺍ ،ِﺭْﺪَﺒﻟﺍ ﻰﻟﺍ ... ﻪﻟﻮﻗ ... ُﺩﻮُﻗَﻭَﻭ ْﻢِﻫِﺮِﻣﺎَﺠَﻣ ُﺓَّﻮُﻟَﻷﺍ - َﻝﺎَﻗ ﻮُﺑَﺃ :ِﻥﺎَﻤَﻴﻟﺍ ﻲِﻨْﻌَﻳ َﺩﻮُﻌﻟﺍ ،- ُﻢُﻬُﺤْﺷَﺭَﻭ ُﻚْﺴِﻤﻟﺍ
Dari Abi Hurairah radliyalahu 'anh, bahwa Rosulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda : "Golongan penghuni surga yang pertama kali masuk surga adalah berbentuk rupa bulan pada malam bulan purnama, … (sampai ucapan beliau) …, nyala perdupaan mereka adalah gaharu, Imam Abul Yaman berkata, maksudnya adalah kayu gaharu. (HR. Imam Bukhori) Demikian juga hadits shahih riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya, ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ،َﻥﺎَﻴْﻔُﺳ ْﻦَﻋ ،ٍﺮِﺑﺎَﺟ :َﻝﺎَﻗ َﻝﺎَﻗ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ :َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ " ﺍَﺫِﺇ ،َﺖِّﻴَﻤْﻟﺍ ُﻢُﺗْﺮَﻤْﺟَﺃ ُﻩﻭُﺮِﻤْﺟَﺄَﻓ ﺎًﺛﺎَﻠَﺛ “
Dari Abu Sufyan, dari Jabir, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : Apabila kalian mengukup mayyit diantara kalian, maka lakukanlah sebanyak 3 kali. (HR. Ahmad) Shohih Ibnu Hibban juga meriwayatkan sebuah shahih (atas syarat Imam Muslim): ْﻦَﻋ ٍﺮِﺑﺎَﺟ :َﻝﺎَﻗ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻝﺎَﻗ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ :َﻢَّﻠَﺳَﻭ " ﺍَﺫِﺇ َﺖِّﻴَﻤْﻟﺍ ُﻢُﺗْﺮَّﻤَﺟ ﺍﻭﺮﺗﻭﺄﻓ
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian mengukup mayyit, maka ukuplah dengan bilangan ganti (ganjilkanlah). (HR. Ibnu Hibban, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah)
Disebutkan juga bahwa sahabat Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam berwasiat ketika telah meninggalkan dunia, supaya kain kafannya di ukup. َﺀﺎَﻤْﺳَﺃ ْﻦَﻋ ِﺖْﻨِﺑ ﻲِﺑَﺃ ﺎَﻬَّﻧَﺃ ٍﺮْﻜَﺑ ْﺖَﻟﺎَﻗ :ﺎَﻬِﻠْﻫَﺄِﻟ ﺍﻭُﺮِﻤْﺟَﺃ» ﻲِﺑﺎَﻴِﺛ ﺍَﺫِﺇ َّﻢُﺛ ،ُّﺖِﻣ ،ﻲِﻧﻮُﻄِّﻨَﺣ ﺎَﻟَﻭ ﺍﻭُّﺭُﺬَﺗ ﻰَﻠَﻋ ﻲِﻨَﻔَﻛ ﺎًﻃﺎَﻨِﺣ ﺎَﻟَﻭ ﻲِﻧﻮُﻌَﺒْﺘَﺗ ٍﺭﺎَﻨِﺑ
Dari Asma` binti Abu Bakar bahwa dia berkata kepada keluarganya; "Berilah uap kayu gaharu (ukuplah) pakaianku jika aku meninggal. Taburkanlah hanuth (pewangi mayat) pada tubuhku. Janganlah kalian tebarkan hanuth pada kafanku, dan janganlah mengiringiku dengan membawa api.
Riwayat shahih ini terdapat dalam Al-Muwaththa’ Imam Malik, As- Sunan Al-Kubro Imam Al-Baihaqi. Bahkan, ada juga riwayat tentang meng-ukup masjid: ﺍﻮُﺒِّﻨَﺟ ْﻢُﻜِﺗﺎَﻣﻮُﺼُﺧَﻭ ،ْﻢُﻜَﻧﺎَﻴْﺒِﺻ ْﻢُﻛَﺪِﺟﺎَﺴَﻣ ْﻢُﻛَﺩﻭُﺪُﺣَﻭ ْﻢُﻛَﺀﺍَﺮِﺷَﻭ ْﻢُﻜَﻌْﻴَﺑَﻭ ﺎَﻫﻭُﺮِّﻤَﺟَﻭ َﻡْﻮَﻳ ﺍﻮُﻠَﻌْﺟﺍَﻭ ،ْﻢُﻜِﻌْﻤَﺟ ﻰَﻠَﻋ ﺎَﻬِﺑﺍَﻮْﺑَﺃ ْﻢُﻛَﺮِﻫﺎَﻄَﻣ
Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak kecil kalian, dari pertikaian diantara kalian, pendarahan kalian dan jual beli kamu. Ukuplah masjid-masjid itu pada hari perhimpunan kamu dan jadikanlah pada pintu-pintunya itu alat-alat bersuci kalian. (HR. Imam Al-Thabrani didalam Al- Mu’jram al-Kabir. Ibnu Majah, Abdurrazaq dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan redaksi yang hampar sama) Imam Adz-Dzahabi rahimahullah pernah menyebutkan dalam kitabnya Siyar A’lam An-Nubala’ (5 /22 )
tentang biografi Nu’aim Bin Abdillah Al-Mujammar, sebagai berikut : ﻢﻴﻌﻧ ﻦﺑ ﺪﺒﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﺮﻤﺠﻤﻟﺍ ﻲﻧﺪﻤﻟﺍ ﻪﻴﻘﻔﻟﺍ ﻰﻟﻮﻣ ، ﻝﺁ ﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﺏﺎﻄﺨﻟﺍ ، ﻥﺎﻛ ﺮﺨﺒﻳ ﺪﺠﺴﻣ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ Nu’aim Bin Abdillah Al-Mujammar, ahli Madinah, seorang faqih, Maula (bekas budak) keluarga Umar Bin Khattab. Ia membakar kemenyan untuk membuat harum Masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” Masih banyak lagi riwayat-riwayat yang serupa.
Dan dari sebagian riwayat-riwayat yang disebutkan diatas, diketahui bahwa penggunaan kemenyan merupakan hal biasa pada masa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, demikian juga pada masa para sahabat dan seterusnya. Baik sebagai wangi-wangian maupun hal- hal yang bersifat keagamaan. Hingga Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pun pernah berkomentar mengenai kemenyan ini didalam kitabnya Zadul Ma’ad (4/315) yakni mengenai kemenyan India : ﺩﻮﻌﻟﺍ ﻱﺪﻨﻬﻟﺍ ﻞﻤﻌﺘﺴﻳ :ﺎﻤﻫﺪﺣﺃ ،ﻥﺎﻋﻮﻧ ﻲﻓ ﺔﻳﻭﺩﻷﺍ ﻝﺎﻘﻳﻭ ،ﺖﺴﻜﻟﺍ ﻮﻫﻭ :ﻪﻟ ﻂﺴﻘﻟﺍ ﻲﻓ ﻲﺗﺄﻴﺳﻭ ﻑﺮﺣ .ﻑﺎﻘﻟﺍ :ﻲﻧﺎﺜﻟﺍ ﻲﻓ ﻞﻤﻌﺘﺴﻳ ﻝﺎﻘﻳﻭ ،ﺐﻴﻄﻟﺍ :ﻪﻟ .ﺓﻮﻟﻷﺍ ﺪﻗﻭ ﻢﻠﺴﻣ ﻯﻭﺭ ﻲﻓ " ﻪﺤﻴﺤﺻ :" ﻦﻋ ﻦﺑﺍ ﺮﻤﻋ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ،ﺎﻤﻬﻨﻋ ﻪﻧﺃ ) ﻥﺎﻛ» ﺮﻤﺠﺘﺴﻳ ﺓﻮﻟﻷﺎﺑ ﺭﻮﻓﺎﻜﺑﻭ ،ﺓﺍﺮﻄﻣ ﺮﻴﻏ ﺡﺮﻄﻳ :ﻝﻮﻘﻳﻭ ،ﺎﻬﻌﻣ ﺍﺬﻜﻫ ﻥﺎﻛ ﻝﻮﺳﺭ ﺮﻤﺠﺘﺴﻳ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ «،ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ( ﺖﺒﺛﻭ ﻪﻨﻋ ﻲﻓ ﺔﻔﺻ ﻞﻫﺃ ﻢﻴﻌﻧ ﺔﻨﺠﻟﺍ ) ﻢﻫﺮﻣﺎﺠﻣ» ﺓﻮﻟﻷﺍ» )
 Kayu gaharu india itu ada dua macam. Pertama adalah kayu gaharu yang digunakan untuk pengobatan, yang dinamakan kayu al-Kust. Ada juga yang menyebutnya dengan al-Qusth, menggunakan hurug “Qaf”. Kedua adalah yang digunakan sebagai pengharum, yang disebut Uluwwah. Dan sungguh Imam Muslim telah meriwayatkan didalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anh, 

bahwa beliau (Ibnu Umar) mengukup mayyit dengan kayu gaharu yang tidak dihaluskan, dan dengan kapur barus yang dicampur dengan kayu gaharu. Kemudian beliau berkata, “Beginilah cara Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengukup mayyit.
 
Dan terbukti sebuah hadits lain riwayat Imam Muslim perihal mensifati keni’matan penghuni surga, yaitu “pengukupan/ kemenyan ahli surga itu menggunakan kayu gaharu”. Diantara Manfaat Kemenyan Ternyata kemenyan juga memiliki banyak manfaat. Selain untuk wangi- wangian, juga sebagai pengobatan, bumbu rokok, bahkan untuk aroma terapi. Kemenyan mengandung olibanol, materi resin, dan terpenes.

Kandungan lain, saponin, flavonoida dan polifenol. Dan kini para ilmuwan telah mengamati bahwa ada kandungan dalam kemenyan yang menghentikan penyebaran kanker. Namun, belum diketahui secara pasti kemungkinan kemenyan sebagai antikanker.

Namun dulu pada abad kesepuluh, Ibnu Sina, ahli pengobatan Arab, merekomendasikan kemenyan sebagai obat untuk tumor, bisul, muntah, disentri dan demam. Dalam pengobatan tradisional Cina, kemenyan digunakan untuk mengobati masalah kulit dan pencernaan.
Sedangkan di India, kemenyan digunakan untuk mengobati arthritis. Khasiat kemenyan sebagai obat arthritis tersebut mendapat dukungan dari penelitian laboratorium di Amerika Serikat. Kemenyan yang biasa digunakan untuk urusan mistis ternyata berdasarkan hasil penelitian juga mampu menurunkan kadar kolesterol jahat.

Penelitian yang dilakukan oleh King Abd Al-Aziz University di Arab Saudi menemukan bahwa kemenyan bisa menurunkan kadar kolesterol jahat. Kemenyan, menurut peneliti Nadia Shaleh Al-Amoudi, bisa dipadukan dengan materi dari tumbuhan lainnya untuk meningkatkan kesehatan jantung.

Akan tetapi, masih belum ditemukan cara yang jelas agar manusia bisa mengonsumsinya. Selain itu juga bermanfaat untuk mengatasi sakit tenggorokan, hidung mampat, bekas luka dan luka bakar. MENGENAL