Kata “al” pada “al-bai’a” dan “ar-riba”
memberi arti jenis, hal ini merupakan penggunaan kata aslinya. Allah
tidak menyebut jual beli atau riba tertentu dalam firmanNya “wa ahalallahul-bai’a wa harramar-riba“ sehingga kata “al-bai’a“ dan “ar-riba“
merupakan lafad yang bersifat umum. Ia mengandung makna kebolehan
setiap jenis jual beli dan mengharamkan semua jenis riba secara umum.
Pengharaman jenis tertentu dari jual beli atau kebolehan jenis tertentu
dari riba harus mendatangkan dalil lain.
Ayat tersebut berlaku secara umum di setiap jual beli
dan riba. Dalil secara umum setiap jual beli adalah mubah, mencakup
segala bentuk jual beli, sedangkan dalil secara umum tentang riba adalah
haram, mencakup keseluruhan riba. Adapun dalil yang mengecualikan hukum
jual beli tertentu, atau hukum riba tertentu dari hukum secara umum,
hal tersebut merupakan dalil khusus. Berdasarkan hal ini pemahaman ayat
tersebut adalah setiap jual beli itu mubah, tidak mengeluarkan jual beli
dari kebolehannya kecuali ada dalil yang mengkhususkan, demikian pula
setiap riba adalah haram kecuali dengan dalil khusus. Maka pembolehannya
membutuhkan sebuah dalil. Sementara tidak ada dalil khusus yang
mengeluarkan suatu jenis riba dari keharamannya.
Seandainya riba dalam “wa harramar-riba“
adalah riba yang pernah disebut, maka riba yang disebut tidak hanya riba
yang ada dalam surat Ali Imron saja, namun segala riba yang telah
disebut dalam nash-nash syara’ baik dari Al Qur’an dan Hadis sebelumnya.
Ayat dan Hadis telah datang menghukumi riba, hukum ini mencakup riba fadl, nasi’ah dan tidak terbatas pada riba yang berlipat ganda saja.
Selain itu, Firman Allah terakhir tentang riba, QS. 2:279 “Wa intubtum falakum ru-usu amwalikum“
menjelaskan tentang cara bertaubat bagi orang yang ingin kembali dari
bertransaksi riba yaitu dengan membolehkan mengambil hutang pokoknya
saja. Pada ayat ini terkandung penolakan tegas terhadap pendapat yang
menyatakan bahwa riba yang haram hanya riba yang berlipat ganda saja,
karena Allah telah mensyaratkan taubat dari mengambil riba dengan
keharusan mengembalikan pokok hutangnya tanpa ada pertambahan
sedikitpun. Ayat ini merupakan ayat terakhir berkaitan dengan masalah
riba. Demikianlah, Allah telah mengharamkan riba dengan nash Al Qur’an
dari permulaan hingga ayat yang terakhir.
Di sisi lain, menurut Mukhtar Yahya, surat Ali Imran: 130 tersebut tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya,
yaitu Allah telah mengharamkan riba yang berlipat ganda, maka pemahaman
yang sebaliknya adalah bahwa untuk riba yang selain berlipat ganda
adalah halal. Hujjah tersebut tidak sah, karena ayat tersebut tidak
memenuhi salah satu syarat sahnya untuk diambil mafhum mukhalafahnya. Salah satu syarat tersebut yaitu: dalalah manthuq ayat bukan untuk menerangkan suatu kejadian khusus. Pada ayat ini, ketika Allah menyebukan “muda’afah ad’afan”
hanyalah sekedar menerangkan kejadian khusus bagi orang Jahiliyah.
Orang Jahiliyah yang menghutangkan bila telah sampai waktu pembayaran
berkata kepada yang berutang: “Bayarlah hutangmu itu atau kalau belum
ada pembayarannya, maka hutangmu menjadi bertambah”, demikian seterusnya
sampai hutang itu menjadi berlipat ganda. Berikutnya, turunlah ayat
tersebut di atas.
Ibn Jarir Thobari, dalam Kitab Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an,
yang dikutip Muh. Zuhri dalam buku Riba Dalam Al-Quran dan Masalah
Perbankan Sebuah Tilikan Antisipatif, ketika menanggapi ayat dalam Surat
Ali Imron yang melarang bunga yang berlipat ganda, mengatakan bahwa:
Dari Mujahid, katanya tentang riba yang dilarang
oleh Allah, bahwa di kalangan orang Jahiliyah, orang yang berpiutang
berkata kepada yang berhutang: “Ambillah ini, bayarlah nanti; tetapi
ingat tambahan”. Yang berhutangpun mengambilnya dan membayar pada masa
mendatang sesuai dengan permintaan tadi.
Dari Qatadah, bahwa riba Jahiliyah adalah bila
seseorang berhutang, karena tidak sanggup membayar pada masa yang
disepakati, ia dikenakan tambahan atas hutang pokok untuk pelunasan
berikutnya.
Riba pada masa jahiliyah dan bunga bank berbentuk
sama, dimana harta terus bertambah seiring bertambahnya waktu. Jika
orang berhutang 100.000 rupiah, dengan bunga sekitar 10 % dari hutang,
maka dengan perhitungan yang sederhana bagi orang yang berhutang harus
membayar 10.000 dalam setiap tahun dan hutang pokok tetap, artinya
hutang menjadi berlipat dari aslinya setiap 10 tahun. Terlebih pada
bunga majemuk, yang memungkinkan suatu saat jumlah seluruh kewajiban
yang harus dibayar menjadi berlipat-lipat.
Dengan demikian, pelarangan mengambil riba secara
berlipat ganda memberikan pemahaman bahwa ia merupakan larangan dari
segala bentuk riba, baik yang pernah dilakukan orang Arab atau
orang-orang sekarang. Pengharaman Allah terhadap riba adalah mencakup
segala jenis riba baik nasi’ah, fadl, maupun riba yang berlipat ganda.
0 komentar:
Post a Comment