Mengenai hukum onani, mazhab malikiyah, syafi’iyah, hanabilah dan
hanafiyah menetapkan bahwa onani itu haram hukumnya jika dilakukan
dengan sengaja baik itu di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan.
Namun kalau tidak disengaja dan mengeluarkan mani tetap batal karena mengeluarkan mani membatalkan puasa.
Seseorang yang dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan onani
harus mandi junub sebelum dia melaksanakan shalat. Shalat tidak sah
sebelum dia melaksanakan junub.
Onani adalah maksiat kepada Allah dan sering disebut amalan
tersembunyi karena onani bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja,
murah meriah. Akan tetapi mestinya kita tahu bahwa itu untuk manusia, di
sisi Allah tidak, Dia mengetahui segala sesuatu yang nampak dan
tersembunyi.
Setelah itu, hendaknya bertaubat dengan sebenarnya dan berjanji tidaj akan mengulang perbuatan seperti ini lagi.
Mari kita ingat bahwa Allaha maha mengetahui segala amal kita, Ia akan membalas yg kecil dan yang besar dari amalan kita.
Di hari kiamat, kaki, tangan dan kulit kita akan menjadi saksi dari amalan kita, mulut terkunci tak dapat bicara.
Penting juga untuk memikirkan akibat dari perbuatan kita, onani hanya
kenikmatan sementara, dan amalan itu akan tercatat dan dibalas di
akhirat kelak.
Bertaubat dengan sebenar benarnya dan tidak mengulangi lagi, menjauhi
perbuatan yang mendekati onani seperti menonton film porno dll
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Tanya :
“Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan
onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu
sampai berlebih-lebihan melakukannya.
Akibatnya saya meninggalkan shalat
dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk
menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah
melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukannya.
Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah saya
mengqadha shalat ?
Lantas, apa hukum onani ?
Perlu diketahui, saya
melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Jawab :
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih
kesenangan/kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala
halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan
seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
Yang artinya : “Dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]
Jadi, istimta’
apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka
tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk
menghilangkan keliaran dan pengaruh negative syahwat.Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya : “Wahai para
pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka
hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka
hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.
[Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400
Dari Ibnu Mas'ud]Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “Wahai para
pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka
hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka
hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.
[Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400
dari Ibnu Mas'ud]Adapun
tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi
anda. Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang
telah anda kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah
atau tahajjud, kemudian setelah itu anda melakukan onani, maka onani
itulah yang diharamkan
–anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan
ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena
suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syari’at,
maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita
berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain
keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan,
namun pelakunya tetap berdosa. [Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]
0 komentar:
Post a Comment