Penyebutan al-maghfur lahu (dia orang yang diampuni)
Almarhum (dia orang yang dirahmati), ataupun asy-syahid (dia mati syahid) bagi orang-orang yang telah meninggal tidak diperbolehkan. Karena memastikan bahwa fulan mati syahid, atau orang yang dirahmati merupakan perkara-perkara ghaib, tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65)
Berkata Al-Imam Al-Bukhari: “Bab Tidak Boleh Menyatakan Bahwa Fulan Adalah Syahid”:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah lebih mengetahui siapa saja yang berjihad di jalan-Nya.” (HR.
Bukhari)
Maka yang benar kita katakan: fulan, kami harapkan baginya ampunan
(ghafarallaahu lahu) atau kami harapkan untuknya rahmat (rahimahullah).
(1)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz ditanya: Apa kata-kata yang tepat bagi
orang yang meninggal? Kami sering mendengar penggunaan kata-kata
almarhum (yang dikasihi) atau almaghfur lahu (semoga diampuni) untuk
orang yang telah meninggal. Benarkah penggunaan kata-kata ini dan
bagaimana nasihat Syekh dalam masalah ini?
Beliau rahimahullah menjawab:
Dalam masalah ini kata-kata yang dibenarkan adalah ghafarallaahu lahu (semoga Allah mengampuni dia) atau rahimahullaah (semoga Allah mengasisi dia) dsb., kalau ia orang Islam. Kata-kata almaghfur lahu atau almarhum tidak boleh digunakan karena hal berarti suatu penyaksian kepada orang tertentu bahwa ia ahli surga atau ahli neraka atau lain-lainnya, padahal hanya Allah yang dapat memberikan kesaksian kepada orang-orang yang berhak untuk itu sebagaimana yang tersebut di dalam Al-Qur’an atau kesaksian Rasul-Nya atas yang bersangkutan.
Dalam masalah ini kata-kata yang dibenarkan adalah ghafarallaahu lahu (semoga Allah mengampuni dia) atau rahimahullaah (semoga Allah mengasisi dia) dsb., kalau ia orang Islam. Kata-kata almaghfur lahu atau almarhum tidak boleh digunakan karena hal berarti suatu penyaksian kepada orang tertentu bahwa ia ahli surga atau ahli neraka atau lain-lainnya, padahal hanya Allah yang dapat memberikan kesaksian kepada orang-orang yang berhak untuk itu sebagaimana yang tersebut di dalam Al-Qur’an atau kesaksian Rasul-Nya atas yang bersangkutan.
Inilah yang disebutkan oleh ulama Ahli Sunnah: Barangsiapa yang Allah
nyatakan di dalam Al-Qur’an sebagai ahli neraka, seperti Abu Lahab dan
istrinya; atau orang yang dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sebagai ahli surga, seperti Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab,
‘Utsman, ‘Ali, dan lain-lainnya dari sepuluh shahabat yang ditetapkan
masuk surga dan orang-orang lain yang dinyatakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam masuk surga seperti ‘Abdullah bin Salam, ‘Ukasyah bin
Muhshan; atau yang beliau nyatakan sebagai ahli neraka, seperti paman
beliau Abu Thalib, ‘Amr bin Luhay Al-Khuzai, dan lain-lainnya yang telah
dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk neraka -semoga
Allah melindungi kita dari neraka ini- maka kita juga menyatakan
seperti itu. Adapun orang yang tidak Allah nyatakan sebagai ahli surga
atau ahli neraka maka kita tidak boleh menyatakannya secara khusus.
Demikian pula kita tidak boleh menyatakan atau memberikan kesaksian
seseorang tertentu dirahmati atau diampuni Allah kecuali dengan
keterangan ayat dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan
tetapi, Ahli Sunnah mengharapkan bagi orang-orang yang berbuat baik dan
takut berbuat buruk dan bagi kaum mukmin pada umumnya, semoga menjadi
ahli surga, sedangkan bagi golongan kafir pada umumnya menjadi ahli
neraka. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan:
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan
(akan mendapatkan) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka
kekal di dalamnya…” (QS. At-Taubah: 72)
“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
orang-orang kafir dengan neraka Jahannam. Merek kekal di dalamnya.
Cukuplah neraka itu bagi mereka…” (QS. At-Taubah: 68)
Sebagian ulama berpendapat boleh menyatakan fulan ahli neraka atau
ahli surga jika ada dua orang adil atau lebih yang menjadi saksi atas
kebaikan atau keburukan dirinya karena ada hadits-hadits shahih yang
menyebutkan masalah ini. (Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, juz
5, hal. 365-366) (2)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berpendapat tidak mengapa dengan ungkapan tersebut namun harus dirinci.
Beliau rahimahullah ditanya: Apa hukum ungkapan “Si fulan yang
diampuni (al-maghfur lahu) atau “Si fulan yang dirahmati (almarhum)”?
Maka beliau menjawab: Sebagian orang mengingkari ungkapan-ungkapan
ini dengan mengatakan bahwa kita tidak mengetahui apakah si mayit
termasuk orang yang dirahmati dan diampuni atau bukan? Pengingkaran ini
bisa benar jika orang yang berkata dengan ungkapan ini berkata dengan
maksud mengabarkan bahwa si mayit telah dirahmati dan diampuni; karena
kita tidak boleh mengabarkan bahwa si mayit telah dirahmati atau
diampuni tanpa ilmu.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al Israa’: 36)
Orang-orang yang berkata dengan ungkapan ini tidak bermaksud
demikian. Orang-orang yang mengatakan almarhum atau almarhumah bermaksud
berdoa kepada Allah agar Allah memberi rahmat.
Karena itu kita berkata, “fulan rahimahullah“, “fulan ghafarallahu
lahu“. Ungkapan ini tidak ada perbedaan dengan “fulan almarhum” karena
kalimat “fulan almarhum” dan “fulan rahimahullah” keduanya kalimat
khabariyah (pengkabaran). Berarti orang yang melarang penggunaan
“almarhum” harus juga melarang “fulan rahimahullah“.
‘Ala kulli hal, kita katakan tidak ada pengingkaran dalam ungkapan
ini, karena kita bukan bermaksud memberi kabar melainkan meminta dan
berharap kepada Allah. (3)
0 komentar:
Post a Comment