THIS TOPIC BOX Ketik Topic Disini Contoh DZIKIR atau MAKAN

Translate

Monday 10 August 2015

WARISAN UNTUK ORANG YANG HILANG

Yang dimaksud orang yang hilang (mafquud) di sini adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui apakah dia masih hidup atau sudah mati

Sementara yang dimaksud orang yang mati bersama adalah dua orang atau lebih yang seorang jadi ahli waris bagi yang lain, atau saling mewarisi, meninggal bersama-an tanpa diketahui siapa yang mati lebih dahulu diantara mereka. Bagamanakah hukum waris untuk kedua golongan tersebut, baik bagi dirinya maupun ahli warisnya ?

1. Kewarisan Orang Yang Hilang

    Pusaka orang yang hilang (mafqud) ialah pusaka-mempusakai terhadap orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya, yaitu apakah orang itu masih hidup atau sudah meninggal dunia.
    Dalam konteks kewarisan, 
- Seseorang yang hilang (mafqud) dapat berperan sebagai pewaris bila dalam kepergiannya meninggalkan harta
- Sementara ahli waris lain bermaksud memanfaatkannya dan dapat juga bertindak sebagai ahli waris, 
- Apabila ada diantara saudaranya meninggal dunia. harta dari pewaris yang hilang ditahan dahulu sampai ada berita yang jelas. 
 
    Ada dua pertimbangan hukum dapat digunakan dalam mencari kejelasan status hukum orang yang hilang ini. diantaranya: Berdasarkan bukti- bukti ontentik yang dapat diterima secara syari’at Islam, misalnya putusan tersebut berdasarkan persaksian dari orang yang adil lagi terpercaya. Jika demikian hal nya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya, ia di tetapkan seperti orang yang mati haqiqi sejak di putuskan. Berdasarkan batas waktu lamanya kepergian.

Jika perkara orang yang hilang dimintakan kepastiannya, dan hakim telah menetapkan kematiannya, maka yang demikian itu disebut mafquud. Ketetapan hakim itu ada kalanya berdasarkan dalil/keterangan yang meyakinkan, seperti kesaksian orang yang adil, disertai bukti-bukti, dll. maka kematiannya itu pasti dan tetap, sejak adanya keputusan mengenai kematiannya. Tetapi ada kalanya hakim memutuskan berdasarkan tanda-tanda yang tidak pantas untuk menjadi dalil, maka kematiannya itu adalah kematian secara hukum, karena dia mungkin masih hidup.

2. Batas Waktu Menetapkan Kematian Orang Yang Hilang
Para fuqaha berselisih pendapat tentang batas waktu untuk menetapkan kematian mafquud.

    Empat Tahun. Diriwayatkan dari Malik bahwa dia berkata: "Empat tahun." karena Umar r.a. berkata: " Setiap isteri yang ditinggalkan pergi oleh suaminya, maka dia menunggu empat tahun, kemudian dia ber'iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia." (H.R.Bukhari dan Asy-Syafi'i). 

Maka jika seorang suami pergi lama sedang isterinya tidak mengetahui di mana suaminya, maka istrinya harus melapor kepada hakim, dan apabila hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu menunggu selama 4 tahun, dan kalau waktu 4 tahun sudah terlewati, maka istrinya beriddah sebagaimana lazimnya seorang istri yang di tinggal mati oleh suaminya, dan setelah itu diperkenankan kawin dengan laki-laki lain. Dengan riwayat tersebut berarti seseorang yang hilang dapat dinyatakan mati setelah lewat waktu 4 tahun.
    - Orang yang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa (seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat jatuh dan temannya ada yang selamat), maka orang yang hilang harus diselidiki selama 4 tahun, jika tidak ada kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi, pendapat ini dipegang oleh ulama-ulama Hanabilah. Sedangkan apabila kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian (seperti pergi berdagang atau merantau) ulama Hanabilah berbeda pendapat, yaitu; menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan atau diserahkan kepada ijtihad hakim.
    
Diserahkan kepada hakim. Riwayat yang masyhur dari Abu Hanifah, Asy-Syafi'i dan Malik ialah tidak adanya ketentuan batas waktu; akan tetapi hal itu diserahkan kepada ijtihad hakim di setiap masa.
    
Empat Tahun atau diserahkan hakim. Imam Ahmad berpendapat bahwa apabila dia pergi ke tempat yang memungkinkan untuk mati (seperti orang yan hilang di medan perang atau sesudah serangan, atau orang yang hilang di antara keluarganya, misalnya pergi untuk shalat 'Isya akan tetapi dia tidak kembali, atau pergi untuk urusan yang dekat akan tetapi  dia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi) di situ, maka sesudah diselidiki dengan teliti ditetapkan kematiannya dengan berlalunya waktu empat tahun, karena ghalibnya dia sudah mati. Yang demikian itu serupa dengan berlalunya masa yang tidak mungkin dia hidup dalam masa seperti itu. Tetapi apabila kepergiannya ke tempat yang memungkinkan  dia selamat (Misalnya orang yang bepergian untuk haji atau menuntut ilmu atau berniaga ) maka urusannya diserahkan kepada hakim untuk menetapkan kematiannya sesudah batas waktu yang ditetapkannya dan sesudah penyelidikan mengenai dirinya dengan segala media yang memungkinkan mengabarkan keadaan dirinya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
    
Meninggalnya teman sebaya atau usia 90 tahun. Seorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila teman-teman sebayanya yang ada di tempat itu sudah mati (pendapat ini dipegang oleh ulama’ Hanafiyah), sedangkan diukur dengan jangka waktu Imam Abu Hanifah mengemukakan harus melewati waktu 90 tahun. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah, akan tetapi penetapan kematiannya itu hanya dapat dilakukan oleh keputusan lembaga pengadilan.
     
Melewati usia 70 tahun. Seseorang yang hilang di anggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewati tenggang waktu 70 tahun. Pendapat ini didasarkan pada hadits: عن أبي هريرة, أنّ رسول الله ص.م قال : اعمار أمتى ما بين الستّين إلى السّبعين   Artinya: Dari Abu Hurairah, Bahwasanya Rasulullah saw., bersabda: “umur umatku antara enam puluh sampai tujuh puluh (tahun)”.(HR. Ibnu Majah).


Urusan Warisannya

    Jika Mafqud Pewaris. Dalam keadaan orang yang mewariskan, maka hartanya tetap menjadi miliknya dan tidak dibagikan diantara ahli warisnya sampai nyata kematiannya atau hakim menetapkan kematiannya. Apabila ternyata dia masih hidup, maka dia mengambil hartanya. Dan bila dia sudah mati, atau hakim menetapkan kematiannya, maka dia diwarisi oleh orang yang menjadi pewarisnya pada waktu dia mati atau waktu hakim menetapkan kematiannya.
    Jika mafqud ahli waris. Dalam keadaan dia menjadi pewaris dari orang lain, maka bagiannya dari harta peninggalan orang yang mewariskan itu ditahan. Dan sesudah ditetapkan kematiannya, harta yang diwakafkan itu dikembalikan kepada perawis dari orang yang mewariskan lainnya.

    Tidak boleh dibagi sebelum ada ketatapan hakim. Menurut ketentuan ilmu Ushul Fiqh, harta bagi orang yang mafqud yang belum ditentukan orang itu meninggal dunia, masih tetap belum boleh diwarisi, karena orang itu berdasarkan istishhaabul hal masih dipandang hidup. Sehingga hartanya masih tetap miliknya. 

Lain halnya kalau orang tadi dinyatakan meninggal dunia oleh hakim berdasarkan bukti-bukti yang kuat hakim dalam putusannya menyatakan mati hukmy (hukmy ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar), maka hartanya dapat dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak. Ahli waris yang berhak itu ahli waris yang masih hidup pada waktu orang yang mafqud itu meninggal dunia.

    Jika ternyata masih hidup setelah ketetapan hakim. Kalau orang yang mafqud dinyatakan mati oleh hakim tersebut ternyata masih hidup dan kembali untuk mengambil hartanya, maka harta yang diberikan padanya ialah harta yang masih sisa yang telah diterima oleh ahli waris-ahli warisnya. Harta yang telah habis digunakan ahli waris-ahli waris yang berhak menerimanya tadi tidak perlu diganti. Ahli waris-ahli waris yang telah menerima warisan tadi dan telah menggunakan atau telah menjualnya, tidak dapat dituntut untuk mengganti barang yang telah dipergunakan atau yang telah dijual tadi. Mereka hanyalah wajib mengembalikan barang yang masih sisa, mereka itu menerima karena keputusan (karena melaksanakan keputusan hakim). Namun demikian, ini tidak berarti mutlak, tanpa melihat motif penggunaan atau penjualan barang-barang warisan tersebut. Kalau sekiranya penjualan mempunyai maksud untuk menghindari pengembalian barang sekiranya orang yang dinyatakan mati tadi kembali lagi, seperti setelah adanya berita bahwa si mafqud tadi masih hidup, cepat-cepat ahli waris yang menerima pusaka tadi menjual barang-barang warisannya tadi, mereka itu dapat dituntut untuk mengembalikan warisan yang telah diterimanya


3. Pengertian Orang Yang Mati Bersama


    Jika matinya saling susul. Yang dimaksud dengan orang yang mengalami kematian bersama adalah orang-orang yang dapat saling waris-mewarisi (memiliki hubungan kerabat), dimana mereka mengalami kecelakaan dalam satu waktu bersamaan, bisa disebabkan karena bencana alam, kebakaran, tabrakan kendaraan, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, tenggelam, tertimbun, ataupun hal-hal lainnya. Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris untuk orang yang mengalami kematian bersama adalah dengan cara menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu pertama kali dan yang meninggal kemudian. Hal ini bisa diketahui dengan cara bertanya kepada orang yang menyaksikan, atau adanya salah seorang atau lebih dari mereka yang selamat dari bencana tersebut yang menyaksikan siapa yang paling dulu meninggal, lalu siapa yang hidup kemudian walaupun hidupnya itu hanya sesaat saja. Jika memang keadaannya demikian, pembagian waris akan lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak dan begitulah seterusnya.

    Jika kematiannya bareng atau tidak ada yang tahu. Namun jika diketahui bahwa mereka meninggal sekaligus, maka mereka tidak dapat saling waris-mewarisi, karena syarat menerima warisan adalah ahli waris dalam keadaan hidup ketika si pemilik harta meninggal, baik meninggal yang hakiki ataupun yang dihukumkan sudah meninggal. Dan syarat ini tidak ada pada kejadian di atas. Begitu pula  jika kita tidak mengetahui bagaimana kematian itu terjadi  apakah ia berurutan atau sekaligus, atau bisa jadi kita mengetahui bahwa mereka meninggal secara beruntun, hanya saja tidak diketahui dengan jelas siapa yang lebih dahulu, atau kita mengetahui siapa yang terakhir, hanya kita lupa siapa orangnya, maka terhadap keadaan-keadaan seperti ini, menurut imam Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak dapat saling mewarisi.
     
Jika saksi lupa atau ahli waris berselisih. Sedangkan menurut Imam Syafi’i jika kita atau saksi lupa urutan siapa yang meninggal pertama dan siapa yang meninggal kemudian  hingga yang meninggal paling terakhir, maka perkara seperti ini harus ditunda dahulu hingga teringat atau saling berdamai. Sedangkan menurut madzhab Imam Ahmad, apabila antara ahli waris berselisih pendapat siapa yang lebih dahulu meninggal sementara masing-masing tidak memiliki bukti, maka mereka harus saling bersumpah seterusnya mereka tidak lagi saling mewarisi karena tidak ada faktor yang dapat menguatkan. Apabila tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli waris, maka masing-masing ahli waris mendapat bagian dari harta yang ditinggalkan tidak termasuk harta yang diterimanya sebagai warisan, hal itu demi mencegah terjadinya mata rantai yang tidak diketahui ujung pangkalnya.
   
 Kesimpulan. Jadi menurut pendapat jumhur ulama yang dapat saling mewarisi adalah orang-orang yang mati secara berurutan, dengan diketahui siapa yang mati pertama kali dan yang mati kemudian. Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka yang mati kemudian  inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut para ulama ahli faraidh  hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris. Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: “Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya”. Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.


4. Contoh Kasus Pembagian Waris Orang Yang mati Bersama.
Contoh 1
Dua orang kakak adik (sama-sama laki-laki) meninggal secara bersamaan karena kecelakaan, yakni kakak dan adik sama-sama meninggal seketika dalam waktu yang bersamaan, tanpa diketahui siapa yang pertama kali meninggal. 
Kakak meninggalkan istri, anak perempuan, dan anak laki-laki dari paman sekandung. Sedangkan adik meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki dari paman sekandung. 

Maka pembagiannya seperti berikut: 
Para ahli waris kakak, yakni : 
Istri mendapat 1/8 bagian, 
Anak perempuan mendapat 1/2, 
dan sisanya untuk anak laki-laki dari paman sekandung sebagai ashabah (Kata ashabah merupakan jamak dari ﻋﺎﺼﺐ yang berarti kerabat seseorang dari pihak bapaknya

Sedangkan para ahli waris adik, yakni :  
kedua anak perempuan mendapat 2/3, 
dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki dari paman sekandung sebagai ashabah.

Contoh 2
Dua orang kakak adik (sama-sama laki-laki) meninggal terkena bencana tsunami, dimana sang adik meninggal pertama kali, setengah jam kemudian disusul oleh sang kakak ikut pula meninggal

Sang adik meninggal dengan meninggalkan ahli waris seorang isteri, anak perempuan, saudara sekandung laki-laki yang meninggal bersamanya (sang kakak) dan paman seayah. 
Sementara si kakak meninggal dengan meninggalkan ahli waris dua orang anak perempuan dan paman seayah. Bagaimanakah pembagian warisnya?
Langkah Pertama, kita hitung pembagian untuk ahli waris pertama yaitu : 
Isteri mendapat 1/8, 
anak perempuan mendapat 4/8, 
saudara sekandung laki-laki (sang kakak) mendapat 3/8, 
sedangkan paman seayah tidak mendapat apa-apa karena terhalang oleh saudara sekandung laki-laki.

Langkah kedua, kita hitung bagian untuk ahli waris yang kedua yaitu : 

Dua orang anak perempuan mendapat 2/3 dari 3/8 
dan paman seayah mendapat 1/3 dari 3/8. 
Maka dua orang anak perempuan mendapat 6/24 
dan paman seayah mendapat 3/24.
Langkah ketiga, tentukan KPK dari 8 dan 24. Maka diketahui KPK nya adalah 24, karena ia dapat dibagi dengan bilangan 8 dan 24 tanpa menghasilkan sisa.

Langkah keempat, kita hitung total bagian untuk semua ahli waris (jami’ah), yakni dari ahli waris yang pertama hingga ahli waris yang kedua sebagai berikut:
Istri: 1/8 x 3/3 = 3/24
Anak perempuan: 4/8 x 3/3 = 12/24
 Saudara sekandung laki-laki  tidak mendapat apa-apa, ahli warisnya-lah yang mendapat, dengan pembagiannya sebagai berikut:
Dua orang anak perempuan: 6/24
Paman seayah: 3/24
Pembagian warisan diatas diambil hanya dari harta milik pewaris pertama
Seandainya pewaris kedua memiliki harta warisan tersendiri, maka ahli waris kedua mendapat bagian lain yang besarnya tidak dipengaruhi oleh ahli waris dari pewaris pertama
Yakni dua orang anak perempuan mendapat 2/3 dan paman seayah mendapat 1/3, yang diambil dari harta warisan yang murni milik pewaris kedua (tanpa dicampur dengan bagian dari pewaris pertama). Jadi ahli waris dari pewaris kedua mendapat pembagian warisan sebanyak dua kali

0 komentar:

Post a Comment